Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #13

Bab 13. Cemburu

Kin melempar pandangan ke rerimbun ilalang. Wajahnya keruh, gambaran hati yang sedang gundah. Semalam ia iseng membuka facebook isterinya dan membaca semua inboks yang masuk dari Rala. Kin dan Sa memang saling mengetahui password facebook masing-masing. Awalnya lelaki berwajah teduh itu santai saja membaca semua inboks tersebut. Perasaan gundah justru muncul setelah Kin kembali ke tempat tidur. Ada cemburu yang memburu di hatinya. Namun Kin tak tega untuk memberitahu Sa. Terlebih lagi Kin melihat akhir-akhir ini perempuan ilalangnya nampak lebih sering tersenyum. Ia tak ingin kehilangan senyuman itu.

Kin menarik nafas dalam-dalam. Tak ada kalimat Sa yang menunjukkan bahwa ia suka pada Rala. Hanya beberapa pesan dari Rala yang membuat dada Kin sesak. Kin tahu, Rala baik. Lelaki penyair itu tak mungkin akan mempermainkan hati Sa. Tapi Kin justru khawatir dengan kepandaian Rala merangkai kata, Sa bisa saja jatuh cinta pada Rala. Kin yakin Rala tidak akan menolak. Toh, itu yang telah lama dinantinya. 

Inikah cemburu? Betapa menyiksanya. Bagaimana dengan Sa yang tiga kali sepekan harus menahan rasa ini? Kin yakin, di balik senyum perempuan penyuka coklat itu setiap kali melepas kepergiannya ke Benteng, ia sebenarnya menyimpan cemburu. Perempuan mana yang tidak akan cemburu kala menyadari di saat ia terbaring kesepian sendiri, di saat yang bersamaan, lelaki yang dicintainya sedang dalam pelukan perempuan lain. Sungguh Kin tak bisa membayangkan seberapa sakit hati Sa.

Jika Rala, yang secara fisik tidak pernah lagi bertemu dengan Sa saja mampu membuat Kin gelisah seperti ini, berarti Sa memendam kegelisahan yang jauh lebih hebat. Sekali lagi Kin menarik nafas panjang. Harus ada yang dilakukannya untuk meredam cemburu ini. 

Apakah Kin harus memberitahu Sa? Duh, bagaimana kalau ia tidak mau memutus pertemanannya dengan Rala? Bagaimana jika tersinggung dan marah. Pun kalau Sa menuruti keinginannya, bagaimana kalau senyum manisnya raib lagi dari wajahnya? Beragam tanya semakin menambah gelisah hati Kin. 

Malam beranjak kian menua. Kin masih duduk di teras. Liukan ilalang tak lagi menarik di matanya. Kin berpikir keras. Harus ada jalan keluar yang ditemukan. Sa tetap harus menjadi miliknya. Kin sadar tak akan bisa bahagia tanpanya. Dan Rala? Ah, lelaki itu selalu saja menjadi sandungan. 

Kin mengepalkan tinju. Darah di ubun-ubun mendidih. Ditinjunya meja kayu yang ada di depannya. Sebelum mengenal Sa, Kin adalah seorang lelaki yang mudah naik pitam. Dan saat emosinya meluap, ia tidak segan-segan meninju apa saja yang ada di dekatnya. Perlahan, saat bertemu Sa, dan ibunya memberitahu bahwa Sa berperasaan halus dan sangat sensitif, maka Kin berusaha untuk belajar mengontrol emosi. Hingga di sepanjang usia pernikahan mereka, Sa tidak pernah melihat Kin emosi. 

Tapi kali ini Kin sungguh berat untuk tidak meluapkannya. Kin tidak tahu kemarahannya tepat diarahkan pada siapa. Rala yang telah menggoda Sa? Ah, Rala tidak pernah menggoda Sa. Rala hanya melakukan apa yang harus dilakukannya. Rala mengetahui Sa sedang tidak bahagia, dan ia menyiapkan hatinya, bahkan bahunya untuk disandari Sa. Mestinya begitulah mencintai. Selalu ada saat yang dicinta sedang dirundung duka. Tapi Rala tetap salah karena Sa sudah bersuami. Kin semakin bingung dengan pikiran-pikirannya.

Ataukah Sa yang salah karena menanggapi inboks-inboks Rala? Tapi bukankah Kin sendiri yang mengizinkannya? Bukankah Kin sendiri yang membiarkannya karena yakin Rala tidak akan berbuat macam-macam? Pun, Kin tidak menemukan sepatahkata pun dalam inboks Sa yang pantas untuk membuat Kin curiga atas perasaan Sa.

Lalu dirinyakah yang salah? Apakah Kin salah karena telah membiarkan Sa berakrab-akrab dengan Rala? Tapi semua Kin lakukan agar Sa punya teman bercanda. Mungkin Kin salah memilihkan teman. Mestinya bukan Rala. Tapi siapa? Dan Rala ikhlas, selalu nampak ikhlas, sejak zaman mereka masih kuliah. 

”Arghgrghrghrh…” Kin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba saja guntur menggelegar bersamaan dengan hujan yang langsung menderas. Kin semakin leluasa melampiaskan emosi yang menggumpal di hati. Ia berteriak sekeras mungkin. Deras air hujan menyebabkan tak akanada yang mendengar teriakannya. 

Lihat selengkapnya