Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #14

Bab 14. Pertengkaran

Rala mengutak atik ponselnya. Sejak pagi ia mencoba mencari status-status Sa yang biasanya ramai, tapi tak menemukannya di beranda. Ia kemudian memutuskan mengecek kronologi Sa. Ia mengetik nama lengkapnya, yang juga menjadi nama facebooknya; Sastrawati Bau Daeng. Dan betapa terkejutnya Rala mengetahui dirinya tidak berteman lagi dengannya. Mungkin Sa telah meng-unfriend dirinya. Rala menjadi gelisah. Ia kuatir telah menyinggung perasaan teman kuliahnya tersebut, sehingga tidak ingin lagi berteman dengannya. 

“Saya minta maaf klu telah menyinggung perasaan Sa.” Rala mengirim inboks ke Sa. Sungguh, ia tidak akan sanggup memaafkan dirinya, jika inboks-inboksnya selama ini menyebabkan novelis itu marah, tersinggung atau bahkan terluka. Sa membaca inboks dari Rala. Dengan hati-hati ia memperlihatkannya pada Kin.

“Kenapa sampai begini?” Kin menatap Sa tajam. Masih ada sisa cemburu semalam yang terbayang. Kin berusaha keras menyembunyikan, tapi nada suaranya nyata bergetar.

“Saya menghapus pertemanan dengannya,” jawab Sa, masih sangat hati-hati.

“Mestinya itu tidak perlu, Sa.”

“Bagi saya, menjaga hati Kakak jauh lebih penting dari apapun.”

Kin menatap Sa haru. Kin tahu, isterinya nyaman bercanda dan berdiskusi dengan Rala. Kin juga yakin ia mampu menjaga diri, pun hatinya. Hanya saja, kemarahan Kin semalam telah membuat Sa merasa sangat bersalah. 

“Sa, saya minta maaf. Saya takut kehilangan kamu.” Kin masih tak memindahkan tatapannya dari mata kejora Sa. Sa mengangguk, walau dalam hatinya ada sesuatu yang terasa mengganjal. Entah apa.

“Sa, saya tidak ingin kehilangan senyummu. Tetaplah tersenyum untukku, ya.” Sa mengangguk sambil melukis senyum kecil di bibirnya. Senyum yang berbaur nyeri.

“Dan kalau saya sudah tidak mampu membuatmu tersenyum, saya rela Rala melukis senyum di wajahmu, tapi tetap saja, lukisan senyum itu adalah buatku, “ lanjut Kin. Hati Sa semakin tak menentu. Ia ingin Kin tegas, melarang dirinya berhubungan dengan Rala. Sa yakin dalam dua tiga hari, ia akan terbiasa tanpa inboks-inboks dari Rala. Namun kenapa Kin masih menyisakan celah untuknya dan Rala?

“Mestinya Kakak yang berusaha melukis senyum itu. Sekuat daya. Pun dengan luka yang compang camping,” kata Sa kemudian. Ia tak menemukan lagi kalimat yang tepat untuk menyatakan betapa inginnya ia, Kin seperti Rala, selalu membuatnya tersenyum. Bukan semata karena kelihaian Rala merangkai kata, tapi juga kepekaan yang selalu ditunjukkannya. Itu yang terkadang membuat Sa tersanjung. Rala selalu tahu, kapan Sa butuh dihibur. 

“Balaslah inboks Rala. Kasian dia.” Suara serak Kin menyadarkan Sa dari lamunannya. Kin kini duduk di sampingnya, meneguk pelan teh yang sejak tadi sudah disiapkan. Sore gerimis yang tak sepenuhnya bisa mereka nikmati.  

“Balas apa?” Sa balik bertanya.

“Ya, apa yang bisa membuat Rala nyaman. Tidak perlu berbohong, tapi tidak usah pula vulgar,” jawab Kin. Jawaban itu spontan mencipta kerutan di dahi Sa. Ah, betapa sejak semalam, Kin menjadi sosok yang aneh di matanya.

Lihat selengkapnya