Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #16

Bab 16. Tentang Rindu

Sejak jam enam Sa menunggu kedatangan Kin. Lelaki yang dirindukannya itu belum juga nampak. Setelah menyiapkan sarapan, Sa menuju teras samping rumah. Ia ingin menulis di sana, sambil mengamati buruh petik cengkeh yang baru saja memulai aktivitasnya. Liukan ilalang di samping rumah tentu saja turut menemani Sa.

Ia menyalakan laptop. Banyak yang ingin ditumpahkannya kini. Amuk badai yang merajai perasaannya akhir-akhir ini membuat Sa kembali melahirkan goresan-goresan melankolis. Sa ingat, beberapa tahun yang lalu, seorang teman sesama penulis menjulukinya “Penulis Rindu”. Katanya hampir semua ruh tulisan Sa berawal atau paling tidak berujung pada kerinduan. Entah kerinduan pada belahan jiwa, keluarga, maupun kerinduan pada Sang Khalik. Sa tidak menampik. Tulisannya memang cenderung ‘feminim’ dengan selalu melibatkan masalah hati. 

Sa mulai menulis. Lebih tepatnya menumpahkan apa yang dirasanya. Biasanya saat menulis, ia akan memasang modem dan akan berselancar di dunia maya. Hal itu membuat Sa mampu menulis berjam-jam dalam kondisi rileks. Tapi tidak kali ini. Sudah hampir sepekan Sa puasa dari Facebook dan jejaring sosial lainnya. Ia ingin membuktikan pada Kin bahwa suaminya itu jauh lebih berarti dibanding ribuan teman-temannya di facebook. Walaupun tak bisa dipungkiri, kehadiran mereka telah banyak menghibur gundah hati Sa. Dunia mayanya selama ini telah melukis pelangi warna warni dalam hidupnya.

Kunamakan malam ini malam rindu. Nafas terasa sesak. Engkau membayang dalam bingkai rinduku. Ah, banyak makna yang kita ukir bersama. Banyak pengalaman yang kita bagi, banyak ilmu yang kita serap, banyak ceria yang kita cipta.

Kunamakan malam ini malam rindu. Rindu padamu yang telah memenjara hatiku. Kapan lagi berbagi bahagia? Kapan lagi menikmati hari bersamamu?

Ah, kunamakan malam ini malam rindu. Aku sungguh ingin mengulang semuanya. Andai mungkin. 

Sa mengetik lead cerpennya dengan penuh perasaan. Sungguh, apa yang ia tulis adalah nyata apa yang ia rasa. Sesekali Sa mendongakkan kepalanya ke depan rumah. Melihat jangan sampai Kin datang tanpa disadari. Namun sampai matahari sudah berada di atas kepala, belum ada juga tanda-tanda lelaki bermata hitam itu akan datang. Sa memeriksa ponselnya. Berharap ada SMS atau miscall. Tak ada pemberitahuan sama sekali. Sa kembali harus menelan kecewa yang sangat. 

Jemarinya terus menari di atas tuts laptop, seiring air mata yang mulai mengalir. Nyeri. Entah sudah berapa ratus kali rasa itu menyambangi hatinya. Sa terisak. Mungkin kini ia harus membiasakan hatinya tanpa Kin. Air matanya terus menderas. Tuts-tuts laptopnya kini basah oleh air asin itu. Dadanya sesak. Hidup terasa sangat berat kini. Duh, adakah lagi ujian rumah tangga yang lebih sulit dari ujian yang dihadapinya? Sekali lagi Sa terisak. Matahari kini sudah condong ke barat. Sa melewatkan makan siang. 

Lihat selengkapnya