Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #18

Bab 18. Kepergian Kin

Matahari belum lagi nampak saat Kin menghidupkan mobilnya. Dengan berat hati ia harus meninggalkan Lembang Bau. Separuh hatinya serasa hilang, tertinggal dalam jiwa raga Sa. Lelaki itu berharap ini hanya sementara. Semoga dengan ini keduanya menyadari betapa besar cinta yang ada di antara mereka. Setelah pulang dari masjid usai salat subuh tadi, Kin sempat menanyakan keputusan Sa. Dan Sa serius. Ia tak ingin lagi mengubahnya. 

     Sebelum menginjak pedal gas, Kin tiba- tiba mematikan mesin mobilnya. Ia tidak boleh menyerah. Selama belum keluar dari pagar rumah, masih terbuka kesempatan untuk mempengaruhi hati isterinya. Sebagai nakhoda, ia harus berjuang bagaimana pun caranya agar kapalnya tak karam.

    Sering terbersit dalam pikiran Kin untuk segera menceraikan Lili. Meskipun selama ini Sa melarangnya, tetapi jika ia sudah merasa tidak sanggup, sebagai suami ia berhak mengambil keputusan. Semakin hari ia semakin menyadai bahwa menikahi Lili adalah sebuah kesalahan. Kesalahan terbesar yang pernah dilakukan salam hidupnya. Taruhlah saat itu ia khilaf. Sebegitu lemahkan imannya hingga dengan begitu mudah terpedaya pesona perempuan selain isterinya? Kin sering merasa malu pada ketegaran dan kesabaran Sa.

Suatu ketika Kin pernah meminta pengertian Lili agar mereka berpisah saja. Di luar dugaan, Lili mengamuk dan mengancam akan menyebarkan pernikahan siri mereka ke semua keluarga Kin dan Sa. Kin mungkin masih bisa mengendalikan keluarganya, tetapi tidak dengan keluarga Sa. Sekali perempuan ilalang itu tersakiti, tidak akan ada maaf lagi dari orang tuanya. Karena itulah, Kin kembali mengubur keinginannya tersebut. Pertimbangan terbesarnya adalah agar Sa tetap berada di sisinya. Bukankah isterinya itu tetap akan bertahan selama Kin tidak melanggar syarat yang diberikan?

     Sa sedang duduk di ruang tamu sambil menelungkupkan wajahnya di atas meja. Kin mendekat. Ingin direngkuhnya perempuan anggun itu ke dalam pelukannya, tetapi ia menahan keinginannya. Ia khawatir Sa memberontak. Kin duduk di kursi panjang di sebelah kiri Sa. 

      "Apa ini tidak berlebihan? Sebegitu besarkah kesalahanku hingga harus dijatuhi hukuman seberat ini?" tanya Kin pelan. Sa mendongakkan kepala. Tak menyangka suaminya masih ada dalam rumah. Dalam hati ia menyesal telah mengusir lelaki yang masih sangat dicintainya itu. Ingin rasanya menarik kembali ucapannya, tetapi ada sisi lain hatinya yang melarang. Mungkin ada baiknya juga bila untuk sementara mereka mengambil jarak. Agar bisa saling introspeksi diri, saling menanyakan hati masing- masing sejauh mana rasa itu masih mampu bertahan. Jika memang cinta mereka masih seperti sebelumnya, ia yakin Tuhan akan menunjukkan jalan terbaik bagi keduanya.

     "Sa, tidak adakah hukuman lain?"

     "Maaf, saya tidak menghukum. Saya hanya sudah tidak sanggup seatap dengan orang yang seenaknya saja mempermainkan hati perempuan."

     "Ya, Allah. Saya tidak sanggup berpisah sama kamu, Sa. Sungguh. Kasih kesempatan sekali lagi." Kin mengacuhkan harga dirinya sebagai lelaki. Baginya, mempertahankan Sa lebih penting dibanding apapun. Mempertahankan gengsi hanya akan membuatnya kehilangan sumber kebahagiaan.

Lihat selengkapnya