Rala mencecap gelisah. Beberapa hari tidak menghubungi Sa. Rindu bertalu merdu di titik-titik nadi dan sudut hatinya. Pun gundah setia menemaninya menapak hari. Rala yakin Sa sedang menghadapi masalah. Ia dapat merasakan betapa saat ini perempuan itu butuh seseorang untuk ditempati menyandarkan resah. Sementara Rala dengan mata kepala sendiri menyaksikan, Kin, orang yang seharusnya selalu siaga menjadi sandaran perempuan novelis itu, telah menyediakan bahunya untuk disandari perempuan lain.
Awalnya Rala mengira ia salah lihat. Bertahun-tahun tidak bertemu Kin, boleh saja Rala sudah tidak mengenalinya. Namun saat berdekatan naik escalator, perempuan di sampingnya menyebut namanya. Rala menjadi yakin bahwa lelaki itu memang Kin.
Gundah Rala diawali dari peristiwa di mall itu. Ia mengikuti Kin dan perempuan yang bersamanya. Darahnya mendidih melihat kemesraan di depannya. Ingatannya langsung tertuju pada Sa. Jika Sa mengetahui hal ini, ia pasti hancur. Atau mungkinkah teman kuliahnya itu sudah mengetahui? Kalau begitu, berarti saat ini pastilah mendung sedang memayungi hatinya. Sejak dulu, Rala tidak pernah sanggup melihat mata kejora perempuan itu tersaput sedih. Rala ingin menghiburnya. Bahkan ia pun sanggup menyediakan bahunya.
Berhari- hari Rala berusaha keras mencari nomor kontak Sa. Sesuatu yang sangat susah, mengingat selama ini ia tidak pernah berkomunikasi dengan teman-teman Sa. Untungnya tanpa sengaja Rala bertemu teman sekelas mereka dan menunjukkan tempat tinggal sahabat Sa. Teman kelasnya yakin mereka masih berhubungan sampai sekarang. Maka tanpa menunggu waktu lama, Rala menerbangkan RX King-nya ke sebuah pedalaman di kaki gunung Bawakaraeng. Perburuan Rala membuahkan hasil. Nomor HP Sa sudah di tangannya sekarang. Tapi Rala belum menghubunginya. Ia hanya mengirim inboks melalui facebook seperti biasa.
Sayang sekali Sa tidak terbuka pada Rala. Ia menyembunyikan resah yang dirasanya. Namun semakin mengelak, semakin lelako itu yakin Sa sedang bersedih. Namun apalah daya seorang Rala. Perempuan yang selalu dikaguminya itu sudah menjadi milik orang lain. Seberapapun Rala ingin meminjamkan bahu untuk disandari, Sa tidak mungkin akan bersedia. Rala harus melakukan sesuatu. Ia meraih ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia harus menelpon Sa. Memastikan Sa baik-baik saja.
Rala menekan nama Sa di ponselnya. Beberapa detik setelah nada sambung berbunyi, sebuah suara lembut terdengar di gendang telinganya. Rala yang saat itu sedang mengunyah pisang goreng hampir tersedak saat mendengar suara yang sudah bertahun- tahun tidak pernah didengarnya. Suara yang padanya ia menyimpan rindu sampai hari ini. Terakhir bertemu dan mendengar suara Sa di hari wisuda mereka. Dan kini, suara itu tetap terdengar gurih, merdu mendayu di telinga Rala.
“Assalamu alaikum.” Suara Sa lembut. Rala diam. Hening. Menikmati getar suara itu.
“Halooooo.” Sa memperbesar volume suaranya. Rala tetap diam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya Sa menutup teleponnya.
“Suaramu masih menghipnotisku, Sa. Seperti dulu. Maaf tak kuasa bersuara td.” Rala segera mengirim SMS.
“Maaf dengan siapa?” Balasan dari Sa.
“Seseorang yang selalu mengkhawatirkanmu. Kamu baik-baik sj, kan?”