Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #20

Bab 20. Dilema

Belum ada juga kabar dari Kin. Sa mengusir sepi dan gulananya dengan mengurusi dagangan. Pada warga yang menanyakan kepergian suaminya, ia mengatakan sedang ada urusan di Makassar. Sudah berhari- hari, dan rindu itu tak jua cair. Setiap jam berdetak, ia menanti detak bunyi ponselnya. Nihil. Penyuka warna coklat itu tetap sendiri dilamun duka. Entah Kin sudah menghapus namanya dari hati, ataukah justru Kin menyembunyikan luka dengan berlalu. 

Sa pasrah pada sebuah kecerobohan yang ia lakukan. Tak ada yang mampu dilakukan selain menunggu. Menyusul ke Makassar bukanlah pilihan yang tepat menurutnya. Bukan semata karena harga diri yang terinjak, tapi lebih karena ia tak ingin sesiapapun mengetahui masalah rumah tangganya.

Sa, follow instagram saya, ya.” Sebuah SMS masuk ke ponselnya. Sa pada akhirnya menghafal nomor itu walau tidak tersimpan di kontak. Nomor yang setia menghubunginya, pun Sa lebih sering mengabaikannya. 

Yang tak dapat dipahami Sa, dari mana Rala tahu gundah yang dialaminya? Apakah itu ada hubungannya dengan ucapan bersayap Kin tentang betapa cinta Rala adalah cinta sebenar-benar pencinta? Apa hubungannya dengan Sa? Tanya tersebut terus mencecar hati dan pikirannya, tanpa tahu hendak ke mana mengajukan tanya itu. Sementara Kin merapah entah ke mana, dan Sa tak mungkin akan menanyakannya pada Rala. Ah, dua lelaki yang akhir-akhir ini mencipta melodi tak beraturan di hatinya. Kadang berupa rapsodi yang indah memikat, tak jarang pula mencipta resah yang melankolis. 

Sa, boleh ‘kan?” SMS susulan. Pikiran Sa masih dijejali kekhawatiran akan Kin, tetapi entah mengapa ia kemudian menuruti permintaan Rala. Dalam hatinya terbersit niat untuk mengalihkan resah. Ia tak ingin terus terpuruk dan membiarkan hatinya hanya merupa remahan. Setidaknya canda Rala dapat sedikit menghibur lara, walau mungkin hanya sementara.

Dalam hitungan menit, Sa dan Rala terhubung kembali melalui DM instagram dan juga WhatsApp. Tak ada yang salah mungkin. Semua orang bebas berteman dengan siapa saja. Namun tetap saja, Sa merasa hubungannya dengan Rala bukanlah sekadar teman. Entah ini hanya akibat baluran sepi yang tak kunjung menepi karena Kin, atau noktah rasa yang ada di hati Sa untuk Rala memang murni dari sanubari, ia tidak mengerti. Yang ia tahu, apapun nama rasa itu, tetap saja salah. Kelemahan perempuan memang pada telinganya. Mendapat bisikan-bisikan penuh perhatian dari Rala, sungguh menerbangkannya pada sebuah dunia tak biasa. Semudah itukah hatinya berpaling?

Sa, sy tau, hatimu tak prnh berpaling darinya. Kau hx butuh membagi sedikit laramu. Itu saja. Dan sy selalu siap utk menjd sandaranmu.” WA dari Rala. Sa tersentak. Begitu peka hati Rala hingga hampir selalu tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Sa tidak tahu bahwa Rala bertemu Kin saat ia ke Makassar bersama Lili. Saat itu pula Rala membanjirinya dengan inbox untuk menghibur.

Pikirannya kini dipenuhi oleh bayang-bayang Rala. Seperti apakah ia kini? Masihkah seperti beberapa tahun yang lalu? Di kampus, ia dijuluki 3C, ceking, cool dan cerdas. Jika melihat foto-fotonya di jejaring sosial, ceking tak lagi menjadi cirinya. Ia kini nampak berotot. Lebih gagah di usia yang sudah matang. 

Sa membolakbalik badannya di tempat tidur. Di benaknya silih berganti, Kin dan Rala. Sesekali nampak Kin dengan muka sendu, seakan memohon agar Sa membuka hati untuknya. Di detik berikutnya Rala membayang dengan tatapan penuh perhatian. 

Lihat selengkapnya