Makassar semakin meradang. Polusi, macet, banjir, tawuran antar kampus, demo dan gank motor menjadi santapan mata warga sehari-hari. Di tengah carut marut itu, Kin melangkahkan kaki tanpa arah. Ia memutuskan untuk pamit pada orang tuanya. Bertahan lebih lama di rumah orang tuanya sama saja membeberkan hubungannya yang sedang di ujung tanduk bersama Sa. Tempat yang paling diinginkannya tetaplah di sisi Sa. Namun bagaimana ia harus meluluhkan hati ilalang itu.
Lalu Lili? Perempuan lain yang juga mengganggu pikirannya. Seberapapun ia tidak mencintai Lili, tetapi tetaplah tanggung jawabnya dunia akhirat. Sekelebat namanya hadir dalam ingatan lelaki itu, tetapi tak pernah terbersit dalam hati untuk mengiriminya kabar. Ia mungkin egois dan tidak adil atas Lili. Namun siapa yang mampu mengatur hati? Sepenggal hatinya telah diberikan pada Sa. Sayangnya, sepenggal yang lain tidak mampu diberikannya pada Lili.
Mengingat kedua perempuan yang telah menjadi bagian hidupnya, hati Kin semakin kusut. Ia lelaki paling pecundang di antara semua lelaki pecundang. Memiliki isteri yang nyaris sempurna, lalu kemudian dihempaskan dalam jurang luka yang selalu menganga. Mengabaikan Lili, perempuan yang dinikahinya dengan kesadaran penuh, hanya karena ternyata ia tak sebaik perkiraannya dulu.
“Damaiku tetaplah di sisimu, Sa. Tidak ada yang lain.” Kata Kin suatu hari pada Sa. Saat itu, Kin sedang menemani isterinya mengelilingi kebun cengkeh milik Dato. Sebagai tanggung jawab atas harta warisan itu, secara berkala, minimal seminggu sekali, mereka berdua memeriksa kebun-kebun tersebut. Bercanda bersama di sepanjang perjalanan ke kebun merupakan sensasi indah yang tidak bisa dirasakannya kecuali bersama Sa. Teriakan panik perempuan ayu itu saat terjatuh, jerit ketakutan dengan geligil tertahan saat melihat ular, dan rengekan manja saat betisnya mulai dijalari pegal, adalah simfoni yang melenakan. Ia sama sekali tidak merasa direpotkan dengan kemanjaan tersebut. Kin justru menjadikan itu sebagai salah satu cara berbagi kemesraan. Namun kini keduanya terpisahkan hamparan lautan dan gunung yang menjulang. Kin tidak bisa membayangkan akan bagaimana isterinya berkeliling kebun-kebun luas tersebut sendirian; dengan ketakutan akutnya pada ular dan betisnya yang suka meradang jika sudah lama berjalan.
“Siapa yang akan memijat betis jenjangmu itu, Sa?” desah tertahan Kin. Rindu kembali menghentak di jiwa, meluluhlantakkan egonya sebagai lelaki. Ya, kepergiannya adalah sebuah bentuk ego. Ego kelelakiannyalah yang menuntun langkahnya hingga terpisah bermil-mil dari Sa.
Sekarang, jika ada tangan kasih lain yang akan memijat kaki pegal Sa, ataupun lengan kekar lain yang akan memapah tubuh letih Sa, Kin tidak akan pernah rela. Ia tidak akan membiarkan siapapun menyentuh perempuan ilalangnya. Walau Kin juga tahu persis, Sa adalah ilalang yang jika salah mengenggamnya maka akan melukai.