Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #22

Bab 22. Pertemuan

Rala sedang menikmati segelas teh susu saat seseorang memarkir motornya di depan rumah. Seorang lelaki memakai helm tutup turun dari motor dengan tergesa. Mulut Rala menganga begitu mengetahui siapa yang datang. Hampir saja ia menyemburkan air dalam mulutnya. Kin, lelaki itu, berjalam pelan menuju teras. Rala berdiri menyambutnya.  

      Kedua lelaki yang berperawakan sama dan wajah yang bagaikan kembar itu berjalan beriringan ke dalam rumah. Rumah sepi. Rala sendirian. Orang tuanya sedang ada kegiatan di luar kota.

“Ini tentang siri’, Dek. Kita bukan orang biasa. Keluarga kita menjunjung tinggi makna siri’ na pacce.” Begitu kata pembuka Kin, tanpa sedetikpun melepaskan pandangannya dari wajah Rala. Rala menunduk. Mereka-reka gerangan apa yang hendak disampaikan lelaki di hadapannya itu.

“Dek, saya tau, kau mengorbankan rasamu untuk saya. Saya tau, kau seperti ini karena mengalah. Pun saya sadar, andaikan kita bersaing secara fair, boleh jadi Sa sekarang milikmu.” Mendengar kalimat terakhir Kin, Rala mengangkat kepalanya.

“Kak, jodoh itu sudah diatur oleh yang di Atas. Sudahlah! Sekarang yang perlu Kakak lakukan adalah membuat Sa bahagia. Titik.” Tegas sekali suara Rala. Kali ini giliran ia yang menatap lekat-lekat Kin.

“Masih adakah kesempatan itu?”

“Kenapa tidak? Toh selama ini kalian mampu menjalaninya.”

“Tapi saya melanggar syaratnya.”

“Itulah kecerobohan Kakak. Gagal menjaga hatinya.” Ada emosi yang coba dibungkam oleh Rala. Bagaimanapun juga ia tidak berhak untuk marah, walau hatinya mau melakukan itu.

“Saya kehilangan harga diri. Inilah yang saya maksud ini masalah Sirina pacce. Dulu kau rela menanggung pacce, bahkan sampai sekarang, demi saya dan Sa, tapi saya justru tidak mempertahankan itu. Tapi bagaimanapun juga, saya masih punya siri’ dan akan memperjuangkannya hingga titik darah terakhir.” Suara Kin menggelegar, nyata menyimpan resah.

“Apa maksudnya, Kak?”

“Sa merasa nyaman berkomunikasi denganmu. Saya tau itu. Tapi bukan berarti kau bisa mengambil Sa dariku.” Resah itu semakin nyata. Tatapan mata Kin pun gelisah. Walau ia berbicara tentang siri’ tetapi sama sekali nada suaranya jauh dari makna siri’ itu sendiri. Siri’ bagi orang Bugis Makassar bermakna keberanian mempertahankan harga diri, mempertahankan apa yang menjadi haknya dan membela sesuatu yang benar. Walau secara hukum agama dan Negara, Kin berada pada posisi yang kuat, tetapi jika memakai hati, maka Rala pun tidak bisa disalahkan. Terlebih lagi Kin sendirilah yang memintanya untuk menghubungi Sa. “Sa butuh teman diskusi, Dek.” Begitu SMS Kin beberapa bulan lalu. Kala itu, Kin khawatir dengan kebiasaan isterinya berlama-lama di rimbun ilalang. Kesamaan hobi dan profesi dengan Rala dipikirnya akan membuat Sa merasa punya teman berbagi yang seide. Sejak saat itulah, keduanya intens berkomunikasi.

Rahang Rala mengeras. Harga dirinya terusik. Ia tidak menerima bila sekarang ia dipersalahkan. Ia hanya ingin membela orang yang dicintainya. Tak ada yang salah dengan itu. Yang salah kemudian adalah karena orang yang dicintainya itu adalah milik orang lain. Rala tersenyum getir mengingat Kin menepuk bahu Rala.

Lihat selengkapnya