Kapal feri melaju anggun, meliuk seirama dengan liukan ombak. Kin duduk di salah satu kursi penumpang kelas ekonomi dengan gelisah. Pulau Selayar belum nampak. Perjalanan baru sekira lima belas menit. Untuk sampai ke pelabuhan Pammatata, Selayar, dibutuhkan waktu lebih kurang dua jam. Akan lebih, jika laut sedang pamer keperkasaan, dan bisa pula kurang jika laut sedang bersahabat. Kali ini berombak, tapi tidak terlalu besar. Kapal tetap melaju dengan normal. Tanpa oleng.
Kepulauan Selayar adalah salah satu kabupaten kepulauan yang secara adminitratif masuk dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini terletak di ujung selatan pulau Sulawesi. Bentuknya panjang agak bengkok, menyerupai udang. Itulah mungkin salah satu alasan pulau ini digelari Tana Doang. Dalam bahasa Selayar, Tana berarti tanah, dan Doang artinya udang. Makna lain dari nama Tana doang adalah tanah tempat berdoa. Konon, Selayar termasuk kerajaan yang lebih awal memeluk agama Islam dibanding Kerajaan Gowa.
Walaupun pulau kecil, tetapi akses ke Selayar tidaklah sulit. Kapal Feri menyeberang dua kali sehari, kecuali jika sedang musim ombak besar dan angin kencang, terkadang harus tidak jalan berhari-hari. Alternatif lainnya adalah kapal fiber. Dan bagi yang memiliki kantong sedikit tebal, serta ingin praktis dan cepat, maka sudah ada dua pesawat domestik yang mendarat di Bandara Aroeppala; bandara kebanggaan masyarakat Selayar.
Jika memilih jalur laut dengan menggunakan kapal feri, maka kita harus menumpang bus ke Bira, Kabupaten Bulukumba dan dari Bira kemudian menyeberang ke Selayar. Jalur ini yang paling umum digunakan oleh masyarakat Selayar, termasuk Kin. Kapal tetap melaju dengan lancar. Samar nampak hamparan batu dan jejeran pohon kelapa. Selayar sudah semakin dekat. Jantung Kin pun berdebar semakin tidak beraturan.
“Saya ingin memberi kejutan. Jangan dikasih tau ya, Li.” Pesan Kin pada Ali, kerabat yang menggantikannya membawa barang dagangan ke Benteng. Selama Kin meninggalkan Lembang Bau, ia sebenarnya tidak pernah luput mengetahui aktifitas isterinya. Ali melaporkannya dengan sangat lengkap. Termasuk jika Sa baru semalam kembali minum teh dan mengetik.
Kin masih memikirkan apa yang pertama kali harus dilakukannya esok hari saat bertemu Sa. Untuk malam ini, Kin punya dua pilihan; menginap di hotel, atau ke rumah Lili. Yang aman adalah menginap di hotel. Kin bisa langsung istirahat sambil memikirkan cara menghadapi Sa. Sementara kalau ke rumah Lili, ia pasti akan disibukkan membujuk dan menenangkan Lili yang pasti histeris dan marah karena ditinggalkan tanpa berita. Maka Kin memutuskan untuk menginap di hotel saja. Lili nanti akan ditemuinya setelah Kin menemui Sa.
Selayar semakin dekat. Senja meranum jingga. Lampu kapal nelayan sudah mulai berkerlip. Dari kejauhan, kesibukan di pelabuhan Pammatata pun sudah nampak. Tak sampai sepuluh menit, kapal ferry akan segera sandar. Hawa sejuk pesisir, desir daun kelapa yang berjejer di sepanjang pinggir pantai, serta suara kernet bis yang bersahut-sahutan menjadi santapan para penumpang. Kin turun, mencari bis yang ditumpanginya. Ia tidak ingin terlambat.
Dari pelabuhan Pammatata, ke Benteng, Ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar, ditempuh kurang dari satu jam. Jaraknya lebih empat puluh kilo meter. Sementara dari Benteng ke Lembang Bau berjarak Sembilan belas kilo meter. Yang menarik adalah perbedaan cuaca dan pemandangan antara jalur Pammatata- Benteng dan Benteng – Lembang Bau. Sepanjang jalur Pammatata – Benteng kita dapat menikmati kesiur angin laut diiringi lambaian daun nyiur. Sedangkan dari Benteng ke Lembang Bau, mata kita dimanjakan dengan rindang pepohonan dan sejuk hawa pegunungan. Kebun cengkeh menyebar semerbak wanginya sepanjang jalan.