Dada Sa sesak. Sejak kedatangan Kin, ia serasa tidak bernafas. Ada beragam rasa yang berdesakan ingin dihempas; rasa bersalah, rindu, amarah, benci. Ah, entahlah. Sa bahkan tak sanggup lagi menamainya. Ia hanya mampu merasai dan semuanya berujung pada satu rasa; sakit.
Rumah hening. Tak ada yang memulai percakapan. Keduanya masih beku dalam diam. Kin berbaring di tempat tidur dengan tangan di atas dahi, sementara Sa menyibukkan diri di dapur. Sudah sejak tadi teh jahe untuk Kin siap di meja makan, tetapi Sa tak kunjung memanggil Kin.
Kin bangkit dari tempat tidur. Dari pintu dapur ia mengintip apa yang sedang dilakukan isterinya itu. Ia tahu, perempuannya itu hanya menyibukkan diri untuk menghindarinya. Kin ingin segera mencairkan kebekuan itu, tetapi tidak tahu harus memulai dari mana. Tiba-tiba pandangannya terarah pada cangkir di atas meja. Secangkir teh terhidang mana dalam cangkir putih bermotif bunga mawar. Kin melangkah ke meja makan. Dari secangkir teh inilah kebekuan itu akan dicairkan. Ia ingin segera mengungkapkan kerinduannya pada Sa. Mengatakan betapa ia tidak sanggup kehilangan perempuan terbaik yang dimilikinya.
“Hmmmm.. tehnya nikmat. Makasih ya, Sa.” Kin sudah berdiri di belakang Sa sambil memegang cangkir. Hati kecilnya mendesak untuk memeluk isterinya itu, tapi Kin mencoba menahan diri. Ia tak ingin Sa berontak lagi. Sa membalikkan badan. Tersenyum samar, lalu melanjutkan lagi aktifitasnya.
“Rindu sekali dengan ramuan teh itu, Sa.” Kali ini Kin berbisik. Sangat dekat dengan telinga Sa. Sa tetap bergeming. Berusaha tidak terpengaruh, walau separuh hatinya seakan melayang.
Kin menarik nafas berat. Ia melangkah kembali ke meja makan. Sejak awal sudah diduganya akan sangat susah merebut kembali hati perempuan ilalang. Tapi ia tidak akan pernah menyerah. Ia tidak ingin perempuan yang dicintainya jatuh ke pelukan Rala, walau Kin yakin Rala akan mampu membahagiakannya.
“Sa, ke sini sebentar.” Kin memberanikan diri memanggil. Berharap Sa akan memenuhi panggilannya. Sa berjalan mendekat dengan wajah ditekuk. Sejak Kin tiba di rumah, bibir perempuan ilalang itu masih enggan tersenyum.
Sa sebenarnya sangat ingin bersikap wajar. Tak terpengaruh dengan kehadiran suaminya itu, tetapi tekanan dalam hatinya tak mampu menetralisisr perasaannya. Sesak dan sakit, pun rindu yang semakin memuncak. Andai ia ingin berlepas diri dari prinsipnya, maka sejak tadi ia sudah meleburkan diri dalam pelukan hangat Kin. Ia dapat melihat beban rindu yang teramat menyiksa dari tatapan Kin. Semakin membuat dadanya sesak.
Sa mengambil tempat duduk tepat di depan Kin. Diam masih mengantarai mereka. Hanya suara nafas memburu yang terdengar dari keduanya. Sa tertunduk dalam, sementara Kin menatapnya lirih.
“Don’t need to say something?” Kin mencoba mengurai beku. Desir halus daun ilalang meningkahi keheningan itu. Juga gonggongan anjing yang sepertinya sedang memburu seekor babi hutan. Sa tetap menunduk. Tangannya dikepalkan dan diletakkan di atas meja. Ingin sekali Kin menggenggam dan meremas tangan itu, tapi lagi-lagi ia tidak ingin membuat isterinya marah.
Mulut perempuan itu masih terkatup rapat. Tangannya memegang pinggiran meja. Kin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Andai bisa, ia ingin meminta Sa untuk mencacinya, memarahi atau menamparnya, asalkan mampu menghadirkan kembali senyum isterinya.
“Kenapa kembali?” Dingin suara Sa. Tangan dan tatapannya fokus ke ponsel.
“Saya tidak ingin kehilanganmu.”
“Tapi semuanya telah usai.”
“Kita bisa memulainya dari awal.”
“Tak akan sama. Maaf.” Sa berdiri hendak meninggalkan suaminya yang terpaku. Dengan sigap Kin menangkap pergelangan tangan isterinya. Memaksanya untuk duduk kembali. Sa mengatur nafas yang semakin kacau. Dadanya kembali sesak, sementara nyeri menari di ruang hatinya.
“Apakah sudah ada yang lain, Sa?” Parau suara Kin saat mengucapkan itu. Mata Sa membelalak. Entah mengapa, ada sisi hatinya yang tersinggung. Mungkinkah secepat itu akan berpaling?
“Mestinya tidak memegang pisau jika takut terluka.” Justru kalimat itu yang keluar dari mulut Sa.
“Maksudnya?”