Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #26

Bab 26. Merelakan yang Seharusnya

Rala tafakur menatap sajadah di depannya. Asar sudah berlalu. Senja meranum. Lelaki tak bermaksud untuk beranjak dari tempatnya sejak pukul 15:15 tadi. Sembilu mengiris hatinya dengan tajam dan kejam. Nyeri merajai jiwanya kini. Chat yang tak berbalas, SMS yang tak ditanggapi dan telepon yang tak diangkat mampu menerbangkan separuh semangat hidupnya. 

Kini ia sadar, persinggungannya dengan Sa, walau tak pernah bersitatap langsung, telah mengukir sebuncah harapan yang sangat besar akan cintanya. Harapan yang selama bertahun- tahun hanya dibiarkan tanpa dirawat. Harapan yang tetap tumbuh liar dalam hatinya, meskipun selalu diabaikan.

Memang sebuah kesalahan ketika kini Rala berusaha memupuk harapan itu, padahal selama bertahun- tahun diabaikan, ia baik- baik saja. Kini, ia harus siap merasakan nyeri. Menerima kenyataan bahwa seharian ini Sa sama sekali tidak mengabarinya, membuatnya kembali lunglai. Ia mungkin tak siap untuk kehilangan, setelah beberapa bulan ini menikmati kebersamaan. 

Rala menarik nafas dalam-dalam. Emosinya memenuhi dada. Suaranya tertahan ditenggorokan. Berjuta kesedihan ingin diteriakkan, tetapi ia hana mampu menjambak rambutnya sendiri sekuat tenaga. Tak ada suara yang keluar. Ia ingin melampiaskan gundahnya, tetapi ia sadar, teriakan tidak akan mampu mengobati luka. Mungkin ini yang dinamakan cemburu. Rala membayangkan saat ini Sa sedang bercanda mesra bersama Kin. Melebur kerinduan mereka setelah perpisahan yang mengakitkan. Lalu Sa membiarkan Rala menganyam rindunya sendiri, setelah akhir-akhir ini selalu menemaninya mengurai rindu lewat canda-canda gurih dan kalimat- kalimat romantis melalui dunia maya.

Kenyataan bahwa Sa sudah mengambil jalan yang memang seharusnya, membuat Rala seperti dihempaskan dari lantai terakhir gedung tertinggi di Makassar, setelah diberi tempat istimewa yang membahagiakan. Sakit dan merontokkan seluruh kekuatan.

Perasaan yang tak semestinya hadir, tetapi tak mampu dilerainya. Rasa yang sangat menyiksa. Bahkan lebih menyiksa daripada dulu, saat Rala mengetahui gadis yang ditaksirnya sudah dilamar oleh kakak sepupunya sendiri. Ini luka di atas luka. Luka bertahun lalu yang walau tak sembuh, tetapi tak lagi menyisakan nyeri, kini kembali menganga, dan nyerinya sungguh hampir tak tertanggungkan bahkan oleh tubuh kekar Rala. 

Rala membuka WA. Membaca ulang semua chattingnya dengan Sa. Maksudnya untuk mengobati rindu, atau mengurangi cemburu, tetapi nyeri itu justru semakin menyiksa. Rala menyadari, tak satu pun kalimat Sa yang dengan terus terang membuka pintu hatinya untuk Rala. Namun tawa lepas, canda riang dan sesekali kalimat puitis yang dibalasnya dengan begitu indah, adalah bongkahan harapan yang dibangun Rala. Pun puluhan atau bahkan ratusan kalimat romantis yang diterbangkan jaringan seluler dan bersahut-sahutan di udara, semakin melambungkan harapan itu. Ataukah Rala hanya bertepuk sebelah tangan? Mungkinkah dalam hati Sa tak pernah ada setitik pun rasa suka padanya?

Mungkin pada akhirnya Sa akan memutuskan untuk mempertahankan rumah tangganya bersama Kin. Bila itu terjadi, maka Rala harus sanggup menerima kenyataan. Ia harus kembali membangun sendiri kastil hatinya yang kini kembali hancur lebur. Mungkin ia sanggup, tetapi hati kecilnya geram pada Kin. Walau percaya cinta kakak sepupunya itu sangat besar dan tulus pada Sa, tetapi ia tak kuasa memaafkan Kin yang telah mencederai cinta Sa, lalu kini, dengan mudahnya ia kembali meraih cinta itu. Takdir kadang sebercanda itu mempermainkan hidup seseorang. Ada yang bersusah payah melupakan, ada yang dengan enteng mendapatkan.

Lihat selengkapnya