Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #27

Bab 27. Perceraian

“Oh, masih ingat kalau saya juga isterimu?” Sambutan ketus dari Lili begitu Kin muncul di ambang pintu rumahnya. Kin berpura-pura tak mendengar. Senyum yang sudha hampir menyembuk dari bibirnya, mendadak tergantikan wajah masgul. Ia melangkah ke ruang tengah. Lili mengikutinya dengan setengah berlari. Langkah kaki Kin yang panjang susah diikuti Lili yang bertubuh tak sampai satu meter setengah itu. 

“Kin, punya mulut tidak?” Suara Lili meningkat beberapa oktaf. Akhirnya ia berhasil menjejeri langkah Kin.

“Maaf saya capek.” Kin sambil merebahkan badan di sofa depan televisi. Lili duduk di sampingnya, masih dengan tampang cemberut. Dalam beberapa detik, suara dengkur Kin terdengar. Lili mendesah menahan jengkel. Ia masih ingin marah. Ia masih ingin melampiaskan kekesalannya diabaikan selama ini. Namun lelaki itu seolah tak bersalah sedikitpun. Ia malah asyik dalam dengkurnya.

Lili menyalakan televisi. Tetap memilih duduk di samping Kin sambil sesekali melirik wajah yang sedang pulas itu. Sekali lagi Lili mendesah. Tak bisa ia pungkiri betapa pesona Kin telah menyihirnya hingga mengabaikan tawaran menggiurkan dari banyak lelaki yang jauh lebih mapan. Tawaran yang sama, menjadi isteri kedua. Namun Lili kemudian menjatuhkan pilihan pada Kin, hanya dengan pertimbangan lelaki itu masih muda dan tampan, juga lumayan mapan. 

Hal yang di luar pertimbangannya adalah kekuatan cinta yang Kin miliki untuk isterinya. Lili merasa, dengan pesona keseksian dirinya, Kin akan mudah ditaklukkan. Ternyata ia salah. Cinta Kin dan Sa begitu kokoh, tak akan sanggup dihancurkan bahkan oleh pesona Cleopatra sekalipun. Berkali-kali Lili memohon supaya Kin menceraikan Sa, akhirnya hanya berbuah pengikisan pesona Lili di mata Kin. Hanya hitungan bulan sejak mereka menikah di bawah tangan, sikap lelaki itu padanya berubah. Memang tetap melaksanakan kewajibannya seperti biasa, tetapi tak pernah lagi Lili merasakan tatapan mesra layaknya orang yang saling mencintai.

Di kedalaman hatinya Lili merasa terluka dan kalah. Namun ia tetap bertahan. Uang bulanan dari Kin tidaklah kecil. Lili sejatinya tak butuh cinta. Ia hanya butuh uang, dan tentu saja hubungan suami isteri. Itu semua masih mampu diberikan oleh suaminya itu. Ketika kemudian Kin menghilang, Lili menjadi khawatir Kin akan meninggalkannya dan pundi-pundi rezekinya akan tertutup. Karena itulah ia sangat marah. Bukan karena merasa takut kesepian. Sepi dapat ia tebus dengan kembali melarung dirinya dalam pelukan lelaki tak jelas seperti dulu. Hal yang sampai saat ini belum diketahui Kin.

Kin tak pernah tahu bahwa perempuan yang nekad dinikahinya itu adalah mantan penjaja seks  di belantara metro Makassar. Sepengetahun Kin, sesuai informasi Lili, perempuan itu hanyalah mantan karyawan pada sebuah supermarket terkenal yang dipecat karena fitnah. Lili ingat pertemuannya dengan Kin. Kala itu, ia sedang bertengkar dengan seorang perempuan. Tubuh mungilnya terjatuh persis di depan mobil Kin, kala perempuan itu mendorongnya. Kin nyaris menabraknya. Untunglah ia masih sempat menginjak rem. Kin lalu membantu Lili, menaikkannya di mobil dan membersihkan memar bekas pukulan tangan perempuan tersebut. 

Kin yang berhati lembut trenyuh mendengar cerita Lili. Ia mengatakan perempuan itu adalah ibu tirinya. Ia diusir dari rumah karena difitnah oleh mantan bosnya di sebuah swalayan. Kin percaya dan memberikan kartu nama pada Lili. Sama sekali Kin tidak menyangka Lili akan memburunya ke Selayar dan lalu menjebaknya dengan beragam cara. Mereka menjadi dekat. Setiap saat Lili menjadi teman curhatnya. Bahkan beberapa kali Kin mengeluhkan Sa yang sering begitu larut dengan tulisan-tulisannya, atau kehidupannya dengan Sa yang cenderung monoton. Lili pun tidak segan menceritakan semua kisah pilu hidupnya, tentu saja sesuai versi Lili, hingga Kin jatuh iba. Lili yang cantik berhasil mengikat mata Kin. Kecerdasan, kelembutan dan keceriaannya membuat Kin sejenak melupakan Sa. 

Kin menggeliat. Lili masih betah di tempatnya semula. Pandangannya nanar ke arah Kin. Wajahnya masih menyimpan kesal. Itu juga salah satu sifat Lili yang sangat bertolak belakang dengan Sa. Kekesalannya tidak akan pernah hilang selama belum dilampiaskan. Sementara Sa pandai meramu sendiri rasa kesal, marah, benci bahkan lukanya, hingga Kin pun kadang tak menyadarinya. 

“Saya tak butuh penjelasanmu.” Gelegar suara Lili, bahkan saat mata Kin masih setengah membuka. Kin bangkit, berusaha membuang sisa kantuk dan lelah yang masih menggantung.

“Saya pun tak bermaksud menjelaskan,” jawab Kin cuek. Lili semakin meradang dengan jawaban itu.

Lihat selengkapnya