Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #28

Bab 28. Ragu

Sajadah di depan Sa basah oleh air bening yang tumpah dari mata. Malam ini ia merindukan suaminya. Sungguh. Segurat penyesalan hadir di hatinya karena tak mencoba menahan kepergian Kin. Kin memutuskan kembali lagi ke Makassar untuk memberi waktu berpikir bagi Sa. Lelaki itu hanya menegaskan bahwa nasib rumah tangga mereka sepenuhnya ada di tangan Sa. Jika Sa memintanya kembali, maka dengan senang hati ia akan melakukannya, karena memang itu yang diharapkan. Namun jika Sa tidak menginginkan hadirnya lagi, walau dengan berat hati, ia tidak akan memaksa.

“Kebahagiaanmu adalah yang utama, Sa. Saya belajar untuk tidak menjadi pecinta yang egois,” kata Kin sebelum beranjak setelah sekilas mengecup kening isterinya. Kecupan yang menghempaskan jiwa Sa pada sebuah lorong sepi bernama rindu. Ia merindukan kecupan itu. Juga merindukan pelukan hangat dan tatapan penuh kasih dari Kin. 

Kemelut hatinya melabuhkannya pada sujud panjang di sepertiga malam ini. Merapal doa panjang. Berharap yang terjadi adalah sesuatu yang dapat menghantar kebaikan dan kemaslahatan bagi semua; dirinya, Kin, Lili dan juga Rala. Pun Sa melafadzkan istighfar berulangkali karena tanpa sadar menyertakan nama Rala dalam doa-doanya. Rala orang baik, sangat baik malah. Sa tidak tega untuk menghancurkan hatinya lagi. Pun begitu, Sa sadar bahwa ia dan Rala memang tidak akan pernah menjadi satu.

Banyak kata untuk melukiskan warna warni yang telah dicipta Rala di hatinya. Semuanya cerah, ceria. Dan Sa kemudian sadar, bahwa cinta itu bukan semata tentang kebahagiaan. Ada beraneka warna lainnya, abu-abu, kelam bahkan hitam. Bersama Rala, Sa tidak menemukan itu. Maka di tengah malam itu, di ujung sujudnya, Sa sadar, nyaman tidak sama dengan cinta. Tak ada cinta untuk Rala.

Cinta itu lebih syahdu, lebih memukau dan lebih kompleks dari sekadar saling menghibur dan menyenangkan hati. Sa nyaman  bercanda dengan Rala. Tapi ia tak mampu merasakan duka, pun sakit yang dirasakan Rala. Saat Rala tak berkirim kabar, Sa biasa- biasa saja. Tak ada kekhawatiran, atau gundah tentang keadaan Rala. Pun saat Rala mengabarkan dirinya sedang sakit, Sa hanya berpesan agar istirahat. Ia sama sekali tak sedih atau cemas. Juga tak bermaksud mencari kabar lebih jauh tentang keadaan Rala sebenarnya.

Sa akan tetap menjalin hubungan dengan Rala. Sebagai ipar atau sahabat yang saling menjaga dan saling mengingatkan. Tak perlu ada cemburu, tak perlu ada luka. 

Perempuan itu melipat sajadah. Jarum jam menunjuk angka 04:30. Sebentar lagi subuh. Sa menjerang air. Ia ingin mengusir dingin dengan secangkir teh panas. Kali ini teh biasa saja. Belum moody untuk meramu lagi teh-teh spesial. Mungkin karena tak ada orang istimewa di sisinya kini. 

Di dapur, Sa termenung. Jika Kin tak lagi kembali, betapa akan sunyinya rumah ini. Jika sunyi selama ini dapat menjadi sumber inspirasi yang tiada henti mengalir, rasanya sunyi tanpa Kin justru akan mematikan inspirasi itu. Sa nyaris kehilangan gairah. Seperti tatapan Kin sebelum pergi yang juga lunglai tanpa semangat.

Azan berkumandang tepat di tegukan terakhir. Sa mencuci cangkirnya lalu bergegas mengambil air wudu. Setelah salat dan tadarrus, ia bermaksud membuka internet. Ada beberapa cerpen yang dikirimnya ke media. Karena tinggal di pelosok, biasanya pemuatan karyanya diperoleh dari informasi teman-temannya di facebook. Pun Sa harus mengecek e-mail. Ia juga tidak sabar ingin mengetahui kabar naskah novel yang diikutkan lomba. Jika menang, maka selain mendapatkan sejumlah uang, jalan-jalan ke Hongkong, juga mendapatkan kontrak penerbitan sebanyak tiga ribu eksamplar. Sebuah hadiah yang fantastis. Menurut informasi, pengumumannya hari ini. 

Perempuan Pemetik Cengkeh. Demikian judul naskah Sa. Tulisan Sa sarat makna. Pun demikian dengan naskah novel ini. Sa telah bersepakat dengan dirinya sendiri untuk menjadikan menulis sebagai lahan dakwah. Sa bukan ustadzah. Ia tak pandai ceramah, karena itulah berbagi kebaikan dan manfaat hanya bisa dilakukannya lewat tulisan. 

Jaringan lumayan lambat. Sa sampai harus mengulang-ulang membuka link yang sama. Bahkan link facebookpun tak dapat terbuka sempurna. Berhari-hari tidak online, facebook Sa dijejali dengan beragam notifikasi, inboks dan permintaan pertemanan. Dengan sabarmembukanya satu persatu. Ia mendahulukan membuka inboks, karena di inbokslah biasanya informasi-informasi penting itu.

Lihat selengkapnya