Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #29

Bab 29. Emosi

Bus bergerak semakin menjauh dari Benteng. Mata Kin berkunang-kunang. Ia tak tahu kapan lagi akan dapat menikmati lambaian nyiur dan kesiur angin pegunungan Selayar. Pun ia mungkin tak akan pernah lagi bisa menikmati hamparan pasir putih nan lembut bak permadani. Terlalu banyak kenangan. Begitu banyak cerita. Semuanya tercipta dengan begitu indah. Kini Kin akan meninggalkannya. Ia kembali ke Makassar. Cerita baru mungkin saja akan terurai di sana, tetapi Kin yakin tak akan seindah kisahnya bersama Sa. Sa adalah segala keindahan yang ia miliki. Tanpanya, diksi indah tiada bermakna.

Keputusan Kin untuk kembali ke Makassar mungkin akan disesalinya di kemudian hari. Tetapi untuk saat ini, ia tak punya pilihan lain. Ia harus memberitahu orang tuanya. Sudah saatnya minta pendapat atas keruwetan rumah tangganya bersama Sa. Walau Kin sudah bisa menduga, ia akan menjadi pesakitan yang diadili di depan Ayah Ibu dan semua keluarga.

Wajah Kin kusut. Ia mendesah lirih. Kapal feri telah menyeberangkannya, membawanya semakin jauh dari tambatan hatinya. Kin mengambil ponselnya. Ia ingin menghubungi Sa, tetapi kemudian ia batalkan. Ia malu pada dirinya sendiri. Mestinya, pun Sa mengabaikannya, ia tidak boleh keluar dari rumah, seperti janjinya. Namun ternyata, dengan gampang ia meninggalkan Sa. 

“Ah, Sa. Sedang apa kau sekarang?” desah lirih Kin. Wajah Sa terus membayang di pelupuk matanya. Saat ia memejamkan mata, wajah itu semakin jelas terlihat, dengan senyum termanis yang dimilikinya. Dada Kin sesak. Betapa inginnya ia memiliki senyum itu selamanya. Senyum yang telah membuatnya mabuk sejak pandangan pertama, hingga sekarang. 

Sanggupkah Kin berterus terang pada orang tuanya? Apakah Sa tidak akan semakin marah jika mengetahui Kin membeberkan rahasia rumah tangga mereka? Tiba-tiba Kin menjadi ragu akan keputusannya sendiri. Sa tidak pernah sudi membuka aib mereka.

“Kalau masih bisa disembunyikan, kenapa harus diumbar?” Demikian jawaban Sa ketika Kin mengusulkan untuk meminta tanggapan orang tua mereka. 

“Kecuali kalau sudah di pengadilan, baru mereka perlu dikasih tau.” Itu kalimat Sa selanjutnya. Dan Kin menafsirkan bahwa Sa masih berharap rumah tangga mereka tidak sampai ke pengadilan. Mestinya saat itu Kin bertahan. Mencari celah di hati isterinya yang bisa dimasukinya. Namun Kin justru memilih pergi. Sekarang barulah ia merasa khawatir jangan sampai Sa melapor ke pengadilan agama. Sungguh, Kin tak pernah bermaksud untuk berpisah.

Mestinya Kin mengetahui arah menuju hati Sa. Namun Kin selalu beranggapan, arah jalan ke sana telah ditumbuhi belukar. Pun ada jalan setapak, tapi sudah dilalui oleh Rala, dan Rala telah menutup gerbangnya. Kin begitu yakin bahwa nama sepupunya itu telah tertancap jauh di kedalaman hati Sa, melebihi tancapan nama Kin. Cemburu yang membakar akal sehat telah menuntunnya untuk selalu menaruh curiga. Karena itulah, ia merasa, menghindar adalah jalan terbaik untuk memberi kesempatan Sa berpikir akan ke mana hatinya berlabuh, setelah semua prahara terlewati. 

Di tengah perjalanan, niat Kin berubah. Ia tidak akan memberitahu orang tuanya. Bahkan ia bermaksud tidak memperlihatkan diri. Biarlah, seperti kata Sa, orang tua menganggap mereka baik-baik saja.

Maka, sesampainya di Makassar, orang pertama yang ditemuinya adalah Rala. Ia ingin meminta penjelasan tentang hubungannya dengan Sa. Ia ingin mengetahui seberapa besar rasa cinta Rala pada perempuan yang sudah menjadi isterinya itu. Yang terpenting, ia ingin memberitahu Rala bahwa tidaklah semudah membuang ludah untuk mendapatkan Sa dari tangannya. 

“Kak, silahkan masuk.” Rala terkejut mendapati Kin berdiri di pintu kamarnya yang memang tidak pernah tertutup. Kin masuk, menghempaskan pantat di springbed empuk sebelum dipersilahkan.

“Sorry, mengganggu,” Kin berbasa basi. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Sudah bertahun-tahun ia tidak memasuki kamar ini. Tempat yang sejak Rala masih TK, selalu menjadi tempat mereka menghabiskan hari. Di kamar ini pula pada akhirnya Kin menyadari bahwa mereka menjatuhkan hati pada seorang gadis yang sama.

Mata Kin tertumpuk pada sebuah pigura. Lukisan sketsa wajah di pigura itu masih sama seperti dulu. Pigura itu pula yang menjelaskan pada Kin akan isi hati Rala. Ternyata Rala masih menyimpannya sampai sekarang.

Kamar Rala memang tak banyak berubah. Warnanya masih didominasi hitam putih, miniatur tokoh-tokoh kartun koleksi Rala dan juga pigura sketsa tersebut. Foto dirinya dan Rala yang sedang berseragam sekolah juga masih menggantung indah di dinding sebelah kanan, berdampingan dengan foto Rala bersama orang tuanya. 

Lihat selengkapnya