Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #30

Bab 30. Penyesalan

Waktu merambat lambat, menambat sepi yang semakin mengapit di hati Sa. Liukan ilalang tak lagi sekadar mengantar nada syahdu. Ada getar yang getir di setiap desirnya. Ramuan teh yang dibuat Sa tak lagi senikmat dulu. Selalu ada rasa pahit, pun pekat yang tersemat di lidah. Lembang Bau, dengan alamnya yang eksotis, sejuk dan damai, tak lagi mampu meniupkan kidung suka cita di hari-hari Sa. 

Lebih sebulan kepergian Kin. Hanya sesekali ia berkirim kabar. Sa mencoba menjalani hari-harinya senormal mungkin. Ia masih menyimpan kisah rumah tangganya sendiri. Tak seorang pun yang tahu. Warga Lembang Bau mengira Kin ke Makassar mengerjakan sebuah proyek, dan Sa tetap tinggal di kampung untuk mengurusi dagangan suaminya. Maka semuanya berjalan seperti itu. Tak ada yang memperhatikan perubahan senyum, atau badan Sa yang semakin kurus.

Pernah terbersit niat untuk menyusul ke Makassar, tetapi diabaikannya. Kin yang pergi, maka ia pula yang harus kembali. Meskipun itu atas permintaannya. Sebagai lelaki, harusnya Kin bertahan, sekalipun diusir. Nasi mungkin sudah menjadi bubur, atau malah tinggal kerak menghitam. Perempuan ilalang itu hanya mampu menyesali keputusannya. Keputusan yang salah untuk kedua kalinya.  

       Sempat pula ia berniat untuk kembali ke orang tuanya. Namun kembali ia urungkan. Jika masalah mereka sampai ke orang tua Sa, maka sudah tak ada kemungkinan untuk bisa menyelamatkan rumah tangganya. Orang tuanya pasti akan murka. Sementara jauh di lubuk hati Sa, ia masih sangat mengharapkan bisa kembali bersama Kin seperti dulu.

Bongkahan besar menggunung di dada Sa. Akhir-akhir ini dadanya semakin sering sesak. Beban batin yang dialami tanpa teman berbagi membuatnya seperti terasing di sebuah gurun tak berpenghuni; panas dan gersang. Ia ingin mencari oase penyejuk kerontang diri dan hatinya. Pelabuhan terakhir tetaplah di sujud-sujud malamnya. Namun bongkahan itu belum jua sanggup ia cairkan.

Air bening menetes perlahan. Senja merona jingga, mencabik-cabik rindunya hingga merupa nyeri. Tak ada Kin yang menemaninya menikmati ilalang. Tak ada Kin yang sesekali mengajaknya berkeliling Lembang Bau menikmati kesejukan anginnya. Tak ada Kin yang menemaninya menyeruput aneka jenis teh ramuannya. Pun tak ada Kin yang sering membuatnya tergelak dalam tawa bahagia karena kelakar. 

Rindu itu kini membelukar. Akarnya menancap ke seluruh penjuru hati Sa. Hingga tak mampu berbuat apa-apa selain menarik nafas pelan-pelan, dan menghembuskannya disertai lafaz kalimat tauhid. Ada rongga yang sedikit melega. Namun rindu tetap di sana. 

Senja semakin menua. Mentari sekejap lagi lenyap di cakrawala. Langit mulai kelam. Sebagian warga bergegas ke masjid, sebagian yang lain baru saja pulang dari kebun. Sa masuk ke dalam rumah menyalakan lampu. Sejak Kin meninggalkannya sendiri, ia selalu menyalakan semua lampu. Hatinya akan semakin sedih jika berada dalam suasana redup.

Alunan Ayat suci Al-Quran yang mengalun dari pengeras suara masjid seakan memukul-mukul hati dan diri Sa. Fa biayyi ‘aalaai Rabbikumaa tu kadzdzibaan. Salah satu ayat yang diulang berkali-kali dalam surah Arrahman menyentakkan Sa. Ayat itu seperti sedang mengingatkan dirinya. Air mata Sa semakin deras mengalir. Penyesalan yang entah kapan akan berakhir. Mungkin akan selamanya, jika pada akhirnya ia harus berpisah dengan Kin. 

Kufur nikmat. Sa menapaktilasi semua yang menimpa rumah tangganya. Dari perselingkuhan Kin, pernikahan Kin dengan Lili, hingga hubungannya dengan Rala. Semua berawal karena Kin yang tidak mensyukuri aura sakinah Mawaddah wa Rahmah yang telah terpancar dalam rumah tangga mereka. Ia membandingkan isterinya dengan perempuan lain. Dan karena Sa manusia biasa, maka tentu saja dengan mudahnya Kin akan menemukan kelemahannya. Kepasrahan Sa dianggap sebagai sebuah kekurangan, yang lalu menyebabkannya merasa perlu menikahi Lili yang agresif. Lalu Sa? Akhir-akhir ini ia juga menjadi tidak pandai bersyukur diberi anugerah seorang suami yang mencintainya tulus. Ia merasa bahwa pernikahan kedua Kin adalah bentuk ketaksetiaan Kin pada cinta mereka. Dan kemudian kehadiran Rala mampu menutupi sesuatu yang hilang di hati Sa.

Sa kembali mendesah. Rindu pada Kin semakin menggebu. Andai mungkin, ia ingin membangun kembali kastil cintanya bersama Kin. Memulainya dari awal, mencoba menggapai kembali sakinah yang sempat melayang. Ah, mungkin Sa bermimpi, tapi jika memang ini hanya mimpi, ia memilih untuk tidak terbangun lagi. ***

“Kapan baru sampai ini? Sejak tadi katanya dekat,” cerocos Lili pada tukang ojek langganannya.

Lihat selengkapnya