Sepertiga malam. Setelah berdialog dengan tuhannya, sambil menunggu subuh, Sa membuka-buka album foto pernikahan. Senyum bahagia meruah dari semua wajah yang ada di foto tersebut. Sa tersenyum samar tanpa sadar. Hari terbahagia dalam hidupnya tersebut seolah kembali nyata di hadapannya kini, di antara sesal yang masih memadati hatinya.
Sa menghapus air matanya. Enam tahun yang lalu, ia menghapus air mata yang sama untuk alasan yang berbeda. Ya, Sa menangis saat di pelaminan. Tangis bahagia yang tiba-tiba saja muncul kala pui-pui ditiup, dan ganrang serta joong ditabuh. Alat musik tradisional yang mengiringi seluruh prosesi sakral pernikahan Sa.
Sa menghapus airmatanya. Ia menarik nafas berat. Alam Lembang Bau masih dibalut sunyi diantara desau angin malam. Sa merebahkan diri kembali di tempat tidur. Subuh masih lama. Kantuk menyerang Sa.
Lamat-lamat ia mendengar bunyi pui-pui, ganrang dan joong. Pui-pui adalah alat musik tiup seperti terompet, sementara joong adalah gong dan ganrang adalah gendang. Ketiganya biasa digunakan pada sebuah acara pesta seperti pesta pernikahan. Alat musik itu digunakan sebagai penghormatan dalam menyambut tetamu yang datang. Saat alat musik itu dibunyikan, maka kesakralan upacara dan resepsi pernikahan akan sangat terasa. Karena itulah, di hari pernikahan Sa, orang tuanya bersikeras mendatangkan papui-pui, sebutan untuk pemain alat musik ini ke Makassar. Mereka tidak menginginkan musik hiburan modern.
Alam Lembang Bau mestinya masih diselimuti sunyi yang berkabut. Tetapi kehadiran musik tradisional tersebut telah menyingkap kabut dan membangunkan warga. Sa terburu-buru bangkit dari tempat tidur, menyadari ada banyak orang yang sepertinya berjalan ke arah rumahnya. Semakin lama, suara pui-pui dan suara orang-orang yang sedang bercerita semakin terdengar jelas.
Sa membuka pintu rumahnya dan pandangannya langsung disilaukan oleh cahaya senter yang jumlahnya mencapai puluhan. Sa mendekat ke pagar. Kini tampak jelas siapa mereka. Rombongan papui’-pui’ pimpinaan Biding, Kin dan beberapa warga. Oh, bukan hanya itu, Sa sepintas melihat Rala dengan pakaian jas tutup, celana panjang dan sarung sutra. Sementara di sampingnya seorang perempuan berjilbab yang mengenakan baju bodo. Di sampingnya, Kin berjalan dengan setelan jas hitam. Seingat Sa, jas itu mereka pakai saat pernikahan dulu.
“Happy wedding anniversary, Sa.” Rala yang pertama menyapanya, dengan tatapan tajam dari mata elangnya. Tatapan yang sangat mirip dengan Kin. Kini dengan jelas Sa dapat melihat kemiripan raut wajah keduanya. Sa tergagap mendengar ucapan itu. Terlalu sibuk dengan luka dan sedih, hingga ulang tahun pernikahannya pun ia lupa. Apakah itu sebabnya Kin memakai jas yang dipakainya saat akad nikah dulu?
“Ini ada apa?” Sa masih bingung. Kantuknya raib seketika. Sementara Surah Arrahman kembali terdengar dari menara mesjid. Jelang subuh yang penuh kejutan.
“Ini hadiah ulang tahun pernikahan kita, Sayang. Kita mulai dari awal lagi, ya?” Kin mendekatinya dengan tatapan yang dipenuhi kerinduan.
“Dan Rala? Kenapa ikut ke sini?” Tiba-tiba ada gejolak yang mendidih di dasar hati Sa. Ia ingat janji-janji Rala untuk menyediakan bahu untuknya. Ia ingat kebodohannya karena terperdaya janji manis tersebut. Ia hanya sanggup menundukkan kepala. Menyembunyikan amarah, sekaligus rasa malu.