Rala tahu Sa sekarang sudah ada di rumah sakit. Ia menahan diri untuk tidak menemuinya. Ia ingin Kin bersikap dewasa dan menyelesaikan masalahnya, tanpa campur tangan orang lain.
"Rala, saya tunggu di rumah sakit, ya." Suara Kin gusar. Rala belum sempat menjawab, telepon telah ditutup Kin. Rala tak punya pilihan lain. Ia harus ke rumah sakit, bertemu dengan Kin dan tentu saja Sa. Apa yang akan dikatakan saat bertemu Sa? Sekadar berbasa basi dan seolah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka, atau bahkan berpura- pura belum kenal? Toh selama ini belum sekalipun mereka bertemu di acara keluarga. Hanya Kin yang tahu bahwa mereka saling kenal.
Rala memilih jalan kedua. Berpura-pura tidak saling kenal. Itu akan lebih aman bagi semuanya. Rala segera memacu motornya. Macet yang tiap hari mengepung jalanan Makassar membuat Rala lebih senang mengendarai motor bila dalam keadaan tergesa. Teleponnya berdering lagi.
"Langsung ke ruang UGD, ya." Suara Kin dari seberang.
"Kenapa UGD?" Rala bingung. Siapa yang masuk rumah sakit lagi? Cemas menghantui pikiran dan hatinya. Apakah Sa? Bukankah beberapa jam yang lalu Kin ke bandara menjemputnya?
"Lili kecelakaan. Sekarang ia di sini, di rumah sakit yang sama dengan Ibu, tapi masih sementara ditangani di UGD. Cepatlah! Ia butuh ditemani." Sebuah kalimat permohonan yang lebih merupa perintah.
"Lalu Sa?"
"Dia bersamaku. Kami menuju kamar Ibu." Rala memacu motornya, melaju bersama tanya yang masih menggantung. Begitu bertubi ujian yang harus diterima Kin. Masalahnya dengan Sa, lalu ibunya sakit, dan sekarang Lili kecelakaan.
Rala harus bisa membantu Kin, terutama soal hubungannya dengan Sa. Rala melihat bara cinta yang tak surut sedikit pun di mata Kin setiap kali menyebut nama Sa. Rala akan mengubur semua cerita tentang Sa, kecuali satu hal, bahwa ia akan tetap mencintainya dengan caranya. Ia yakin, tidak akan ada yang tersakiti. Ia pun tidak. Dua bulan ke depan ia harus sudah ke Australia mengikuti short course kepenulisan. Aplikasinya diterima dan ia mendapatkan beasiswa penuh selama enam bulan. Waktu yang cukup untuk menetralkan hati dan menata kembali hidupnya.
***
"Sa, saya rindu senyummu. " Di dalam lift menuju lantai 4, mereka hanya berdua. Melihat Sa yang hanya diam, Kin memutuskan untuk memulai pembicaraan. Tak ada salahnya ia berterus terang atas apa yang dirasakan. Bukankah sejak meninggalkan rumah, ia memang selalu memimpikan senyum Sa? Rindunya menggunung, tertimbun setiap hari.
"Saya memikirkan Ibu." Sa menunduk. Tidak berani membalas tatapan Kin yang menghunjam ke retina matanya.
"Ibu akan baik-baik saja bila sudah bertemu kamu dan melihat kita baik-baik saja."
"Maksudnya?"
"Sa, maafkan saya." Kin baru akan menceritakan kedatangan Lili ketika pintu lift terbuka. Mereka berdua menuju kamar ibu Kin. Sa ingin bertanya tetapi Kin memberi kode agar pembicaraan mereka dilanjutkan nanti saja.
"Ibu, maafkan Sa telat datang." Sa menghambur ke pelukan ibu mertuanya. Dalam peluk hangat perempuan lembut yang sudah seperti ibu kandungnya itu, tiba-tiba saja Sa menangis. Ia tak kuasa lagi membendung segala lara yang selama ini ditahannya. Ia seperti menemukan tempat menumpahkannya, meski hanya air mata yang bicara. Tak ada kata selarik pun. Ibu mertuanya hanya mendekap dan mengelus-elus pundaknya. Juga tanpa sepatah kata. Itu berlangsung sekitar sepuluh menit, hingga Rina masuk dan Sa kemudian memeluk adik iparnya itu.
"Yang sabar, ya Kak," bisik Rina. Ia sudah mengetahui bagaimana rumah tangga kakaknya, ia pun baru saja bertemu Rala di lobi dan mendapatkan informasi tentang kecelakaan Lili, termasuk bahwa Sa yang telah mengantarnya ke rumah sakit. Rina tidak tahu terbuat dari apa hati Sa, hingga begitu baik.
"Kin, sini di samping Ibu." Ibu Kin memanggilnya, memintanya mendekat dan berdiri di samping tempat tidur ibunya, berhadapan dengan Sa yang berada di sisi yang lain.
"Kalian baik-baik saja, ‘kan?" Ibu Kin menatap anak dan menantunya bergantian. Sekuat tenaga keduanya berusaha untuk tersenyum dan menyembunyikan masalah rumah tangga mereka. Ibu Kin mengangkat tangan keduanya dan menangkupkannya satu sama lain di atas dadanya.
"Kin, kau selalu jujur sama Sa, ‘kan?" tanya ibunya. Kin mengangguk, menatap Sa penuh kerinduan. Sa mengangkat mukanya tanpa sengaja. Mereka bersitatap. Getar aneh yang hadir di hati keduanya tanpa sadar membuat pegangan tangan keduanya semakin erat. Ibu Kin yang masih merekatkan tangan mereka merasakannya.
"Termasuk soal perempuan itu?" Sa mendongakkan kepala. Menatap Kin penuh tanya. Apakah ini berarti hubungan Kin dengan Lili sudah diketahui keluarga besarnya? Berarti tak ada lagi syarat yang tidak dilanggar Kin. Dan itu sama saja Kin memilih untuk berpisah dengannya.