29 Januari 2001.
Matahari belum terlalu terik ketika ratusan mahasiswa mulai memadati ruas jalanan ibukota. Mereka melangkah beriringan dalam barisan-barisan panjang, serupa kawanan semut yang bergerak menuju pusat tumpahan gula di meja dapur. Di tangan mahasiswa-mahasiswa tadi, terpampang beragam tuntutan yang sengaja ditulis menggunakan huruf kapital di atas kertas karton. Mereka menuntut presiden turun dari jabatannya. Penggulingan paksa dengan alasan ketidakpuasan kinerja.
Tidak jauh dari kerumunan tadi, di bawah rimbun sebatang pohon angsana peneduh pedestrian, Dimas mulai menjepretkan lensa kamera yang menggantung di ujung seutas sling strap pada lehernya. Menurut pemuda itu, hasil jepretannya kali ini akan mampu bersaing dengan hasil bidikan jurnalis lain dan akan menjadi gambar utama di halaman depan surat kabar. Dimas tersenyum, sementara tangannya kembali sigap membidik ke beragam objek dan peristiwa menarik di hadapannya.
“Kami mau Gus Dur segera lengser!”
Cekrek! Potret seorang mahasiswa di barisan terdepan yang tengah memegang toa sembari meneriakkan tuntutan dengan nada berapi-api, berhasil Dimas abadikan. Sekali lagi Dimas tersenyum puas. Sepertinya setelah ini ia akan berterima kasih pada Endah, rekannya sesama jurnalis, yang mau memberikan informasi mengenai titik lokasi dan rencana demo besar-besaran pagi ini. Tentu saja Dimas ingin bisa seperti Endah yang sudah resmi diangkat menjadi jurnalis tetap di sebuah lembaga surat kabar ternama sejak dua bulan lalu. Sementara ia masih berstatus jurnalis lepas. Tidak tetap. Belum terikat kontrak. Padahal, Dimas jauh lebih dulu terjun ke dunia jurnalistik. Memotret dan mencari berita adalah passion-nya. Berbeda dengan Endah yang awalnya hanya coba-coba. Hanya saja, nasib Endah terbilang beruntung. Kerja keras selalu saja dikalahkan oleh Dewi Fortuna. Beberapa kali berita yang Endah buat berhasil dimuat menjadi tajuk utama. Ditambah, kepala redaktur tempatnya bekerja itu juga menyukainya. Lebih tepatnya duda yang usianya akan memasuki kepala empat di tahun depan itu jatuh cinta pada Endah. Cinta bertepuk sebelah tangan, karena Endah tak sedikit pun berminat membalas perasaan lelaki itu. Meski demikian, tetap saja Endah kerap mendapatkan perlakuan istimewa dari sang kepala redaksi. Itu faktor x yang tidak Dimas miliki.
Dimas masih fokus mengamati dari lensa kameranya ketika beberapa mobil barikade keamanan mulai datang mendekat. Suara mesinnya berderu, disusul gema hentak langkah puluhan pasang kaki polisi yang turun dari atas mobil barikade tadi. Mereka segera membentuk benteng pertahanan berupa barisan memanjang dengan tujuan memblokade jalan yang hendak dilalui para mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa tadi tidak boleh sampai ke pusat kota, begitu perintah yang mereka terima dari atasan.
“Bubarkan barisan kalian!” Seorang polisi yang bertindak selaku pimpinan lapangan memerintahkan para mahasiswa untuk membubarkan diri. Tapi, suaranya itu justru teredam oleh pekikan mahasiswa yang semakin menjadi-jadi. Mereka tidak ingin dikomando. Tekad mereka telah bulat: ingin presiden segera lengser dari jabatannya.
Parahnya, dalam setiap demonstrasi selalu saja ada pihak-pihak yang menjadi provokator. Pelempar bahan bakar agar kisruh segera terpantik. Begitulah yang kemudian terjadi. Entah siapa yang pertama kali menyulut emosi. Yang jelas, dari tengah barisan mahasiswa, tiba-tiba sebuah lemparan batu mendarat tepat di pelipis pimpinan barikade polisi yang berada di posisi paling depan. Lelaki itu segera menyeka pelipisnya yang seketika berdarah.
Tak ingin keadaan semakin rusuh, pasukan bertameng mulai menyusun formasi siaga. Aksi yang dilakukan petugas anti huru-hara itu nyatanya malah memancing perlawanan mahasiswa. Terjadi aksi dorong di antara para mahasiswa bertangan kosong dengan barikade polisi. Suasana semakin kacau. Teriakan amarah bergema di mana-mana. Meski tanpa pegangan senjata, namun jumlah polisi yang tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa, menyebabkan posisi mereka tersudut dan terdorong ke belakang.
Sekali lagi Dimas mengambil momen penting tersebut. Jepretan demi jepretan lensa kamera di tangannya menangkap peristiwa yang terjadi: seorang mahasiswa melemparkan batu ke arah sekumpulan polisi, seorang polisi yang adu dorong dengan seorang mahasiswa lain hingga roboh di jalan, juga memotret lemparan gas air mata yang seketika meledak di tengah kerumunan mahasiswa. Tidak hanya satu, lontaran pertama gas air mata itu disusul dengan lemparan-lemparan berikutnya. Suasana semakin tak terkendali. Para mahasiswa yang terkena gas air mata, lari kocar-kacir. Sementara mereka yang terperangkap di tengah kepulan asap itu seolah kehilangan arah. Mereka tidak tahu harus ke mana menghindar. Tak jarang saling bertabrakan. Hingga dua-tiga orang terperosok ke saluran drainase di tepi jalan.
Embusan angin tak juga bisa diajak kompromi. Tak pula dapat diprediksi. Hingga karena berubah arah secara tiba-tiba, kali ini Dimas yang menjadi korbannya. Sepasang mata pemuda itu perih bukan main. Ia bahkan nyaris tak bisa membuka mata. Maka yang bisa Dimas lakukan hanyalah mencoba pergi sejauh-jauhnya. Sialnya, karena langkah yang saling lintang pukang, menyebabkan ia justru bertabrakan dengan para mahasiswa yang juga kehilangan arah. Asap pekat kian mengepul. Berpasang-pasang mata mulai kabur. Sementara hujan batu yang tidak lagi jelas muasalnya, berguguran di atas kepala. Saat itulah, di tengah gumpalan asap putih yang semakin membuat matanya perih, Dimas melihat sesosok perempuan bergaun merah tengah kebingungan. Wajahnya panik. Tubuh putih kurusnya itu juga jatuh terduduk ketika seorang mahasiswa berbadan tegap tidak sengaja menyenggol bahu kirinya.
Iba melihat pemandangan tersebut, dengan sigap Dimas menghampiri perempuan itu dan menarik pergelangan tangannya ke arah yang Dimas yakini akan menjauhkan mereka dari pusat kericuhan. Berhasil. Di sebuah gang sempit, keduanya lalu bersembunyi.