14 Mei 1998.
Suara teriakan beradu dengan bunyi pecahan kaca, menggema dari gedung-gedung pertokoan. Semula belum jelas apa yang mereka teriakkan, meski hal itu sudah cukup mendengungkan gendang telinga, juga mendebarkan detak jantung di dada. Namun, semakin lama, suara itu kian membesar. Makin lantang. Seruan mereka lantas membuat wajah perempuan bernama Li Mei dengan sepasang mata sipit dan rambut lurus tersampir ke belakang itu menjadi kian pasi.
“Bunuh Cina! Bunuh!”
Perempuan berpakaian serba merah itu panik. Ia tak mungkin memekik, berteriak memohon pertolongan, karena pertolongan saat itu hanya cara lain yang bisa jadi akan membunuhnya. Sehingga yang bisa Li Mei lakukan hanya mengatupkan mulut serapat mungkin. Ia juga mulai membenamkan tubuhnya di bawah kolong meja bertaplak lebar dengan beberapa stoples berisi kue kering di atasnya.
Li Mei tidak tahu harus berbuat apa selain bersembunyi dari amukan yang entah dari mana asal muasalnya. Ditambah ia sedang terjebak sendirian di dalam toko. Yang jelas, sesaat lalu, Li Mei sempat mendapati kerusuhan pecah di jalanan: sekelompok laki-laki menghajar seorang pengguna sepeda motor yang kebetulan melintas, sedangkan beberapa lainnya menjarah toko elektronik yang berdiri di seberang jalan. Li Mei yang khawatir, tak sempat menutup toko. Tak sempat ia menarik turun pintu bertipe rolling door tersebut, terlebih ketika sekelompok laki-laki di seberang jalan tadi mulai bergerak menuju ke arah toko miliknya. Li Mei tidak punya perlindungan, sebab papanya pergi beberapa saat lalu untuk membeli kue untuk merayakan hari jadinya yang ke-25. Perempuan itu kini hanya bisa berharap pada Dewa Penolong agar kematiannya tidak perlu hari ini. Tidak perlu tepat di hari ulang tahunnya.
Nahas, doa perempuan itu tidak cukup kuat. Segerombolan pemuda berkulit kuning langsat telah merangsek masuk ke dalam tokonya. Wajah-wajah mereka bengis seolah tidak kenal darah. Mereka membawa balok kayu dan terus menghancurkan benda-benda yang mampu dihantam dalam jarak dekat. Pemuda lain tertawa-tawa sambil mengarungkan beras, roti-roti, serta minuman-minuman bersoda. Sampai salah seorang pemuda kemudian menemukan keberadaan perempuan yang sedari tadi sekuat tenaga menahan bibirnya itu untuk bersuara.
“Jangan bunuh aku …” Perempuan itu berusaha memelas. Namun sepertinya, pemuda di hadapannya tadi telah hilang belas kasihan. Sekonyong-konyong ia menarik rambut Li Mei dan memaksanya keluar dari kolong meja. Perempuan itu mencoba memberontak, tapi tenaga pemuda itu jauh lebih kuat hentakannya. Tubuh kurus Li Mei bahkan bisa dibanting dengan mudah. Ia menjadi semakin tidak berdaya ketika pemuda itu perlahan mulai merobek kancing bajunya dan membuat ia terbaring di ubin yang entah mengapa semakin dingin rasanya.
Li Mei pasrah. Ia berpikir mungkin kematian memang lebih pantas untuknya hari ini. Namun, Dewa Penolong berkata tidak. Saat pemuda itu hendak memelorotkan celananya, tangan perempuan itu mendapati sebuah botol kaca. Dengan sekuat tenaga ia hantamkan botol tadi ke kepala si pemuda yang lebih mirip iblis. Seketika, darah segar mengucur deras. Pemuda itu meringis. Mendapati peluang untuk lolos, Li Mei tidak lagi membuang waktunya dan segera berlari menjauh.
Di luar toko, rupanya suasana bertambah kacau. Jalanan dipenuhi dengan wajah-wajah yang lebih bengis dibanding orang-orang tadi. Mereka lanjut menjarah toko, lalu tak segan-segan membakarnya. Mobil dan motor ikut kena imbasnya. Hal itu menjadikan langit Jakarta disesaki kabut hitam pekat. Li Mei menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ia terus saja melebarkan langkah kakinya sejauh dan semampu mana ia sanggup berlari. Sejauh mana ia akan bisa menghindar dari kematian yang seolah-olah terus mengejar. Ia merasa tidak mungkin berhenti dan kembali memasrahkan nyawa di tangan orang-orang beringas tadi. Hingga kemudian sebuah bom asap yang entah dari mana datangnya mampu menghentikannya. Asap yang semakin menebal itu perlahan membuat matanya perih, dadanya sesak, kepala pening, dan nyaris saja Li Mei tumbang.
***
29 Januari 2001.
Mata Li Mei perlahan terbuka. Ia masih berusaha merangkai pertanyaan-pertanyaan di dalam kepala. Namun, wajah laki-laki yang cukup mendekat ke wajahnya membuat ia refleks mendorong tubuh laki-laki itu.
“Maaf, aku enggak bermaksud.” Dimas mencoba menenangkan Li Mei. Li Mei bergerak sedikit ke belakang sambil menutup dadanya dengan kedua tangan.“Kamu tadi tiba-tiba pingsan,” sambung Dimas lagi.
Raut wajah Li Mei masih saja terlihat bingung. Ia mencoba memastikan sesuatu. “Jam berapa sekarang?”
Dimas mengecek jam yang melingkar di tangannya. “Jam 11.”
“Kejadian di toko tadi …”
Li Mei tiba-tiba bangkit. Ia berjalan gontai, seperti orang linglung. Sementara Dimas yang penasaran pun hanya bisa mengekor.
“Kamu mau ke mana?” tanya Dimas.
Li Mei tidak menjawab pertanyaan itu, karena saat ini justru lebih banyak pertanyaan yang terus berkelindan di dalam kepalanya yang mesti ia jawab. Li Mei terus melanjutkan langkah. Perempuan itu sama sekali tidak mengindahkan Dimas yang berulang kali menanyakan tujuannya. Setelah meninggalkan gang, keduanya menyusuri jalan besar: jalanan yang tentunya masih dipenuhi oleh kerumunan demonstran yang lari kocar-kacir menghindari bom asap, juga barikade polisi yang masih beringas membubarkan kerumunan mahasiswa. Melihat kekacauan itu, kepala Li Mei pening. Telinganya juga berdenging. Li Mei mulai sempoyongan. Takut akan terjadi apa-apa dengan perempuan berpakaian serba merah itu, apalagi jika sampai terdampak kericuhan, Dimas kembali menarik Li Mei ke tempat yang dirasa aman.
“Aku enggak tau kamu mau ke mana. Tapi, kalau terus-terusan di sini, kita bakal bahaya.” Dimas mencoba memperingatkan. “Aku punya motor yang terparkir enggak jauh dari sini. Kamu ikut aku. Setelah itu, katakan saja ke mana tujuanmu, biar aku antarkan. Aku janji … aku enggak akan macam-macam.”
Li Mei terdiam. Beberapa saat, ia memperhatikan wajah Dimas dengan tatapan bingung sekaligus ragu.