Sosok yang sama-sama dipertemukan oleh semesta secara kebetulan itu masih menatap hampa pada rimbun bugenvil yang bermekaran di pekarangan. Dimas masih malu atas perlakuan sang bapak kepada tamunya itu. Dimas tetap tidak habis pikir mengapa bapaknya itu tega menolak mentah-mentah kehadiran Li Mei tanpa menjabarkan penyebabnya.
Li Mei yang duduk di salah satu bangku teras itu masih membisu. Ia seolah meratapi nasib dan takdir yang terasa sedemikian membingungkannya. Kebisuan di antara Li Mei dan Dimas itu seakan-akan mampu menyedot seluruh asa yang Li Mei miliki.
Dimas tahu bapaknya tak menginginkan kehadiran Li Mei di rumahnya. Namun, Dimas pun tak tega jika harus mengusir perempuan itu begitu saja. Maka, Dimas berusaha mencari solusi. Tapi, belum juga mendapatkan jawaban, Handoko kembali muncul di ambang pintu. Ia kembali murka begitu menemukan Li Mei masih bercokol di teras rumahnya. Wajah lelaki itu kembali mengeras. Matanya nyalang menatap Li Mei, seakan-akan perempuan itu adalah buruan.
“Kenapa perempuan itu masih ada di sini, Dim?!”
“Pak!” protes Dimas. Ia tidak tahan dengan sikap bapaknya yang sudah begitu keterlaluan.
Li Mei yang sadar dirinya sungguh tidak diterima sang kepala keluarga, memutuskan untuk segera undur diri. Meski ia sendiri tidak tahu harus ke mana di tengah jalan buntu yang menyesatkannya saat ini.
“Aku pergi saja, Dim,” ujar Li Mei singkat. Ia bangkit dari duduknya.
Handoko masih berdiri di ambang pintu tanpa mengendurkan tatapan tajamnya. Ia menunggu perempuan itu sampai benar-benar hengkang.
Dimas frustrasi. Pemuda bertubuh kurus itu mengacak-acak rambut. Ia masih tidak mengerti kenapa bapaknya yang biasanya ramah kepada orang lain, justru bersikap berbeda pada teman barunya kali ini.
Langkah Li Mei tiba-tiba Dimas hentikan dengan cara menahan pergelangan tangan perempuan itu. “Kamu tetap di sini,” katanya.
Dimas lantas bergerak mendekati Handoko dan berdiri beberapa depa di hadapan lelaki yang kepalanya sudah mulai dipenuhi uban itu. “Bisa kita bicara sebentar, Pak.”
Dimas hendak mengajak bapaknya masuk agar pembicaraan mereka tidak terdengar sampai di telinga Li Mei. Namun sayang, Handoko seolah menolak ajakan tersebut. “Kalau mau bicara, kita bicara di sini saja!”
Handoko melipat tangannya di depan dada. Sesekali sepasang matanya masih mencuri tatap pada Li Mei yang sudah tak enak hati. Urat di pelipis Handoko tampak menyembul menahan marah. Ia seperti tidak terima mengapa putranya itu masih berusaha membela perempuan Tionghoa yang tidak jelas juntrungannya tersebut.
“Bapak enggak kasihan sama dia?”
“Kenapa harus kasihan?”
“Pak ….” Dimas menggantung kalimatnya. Ia tidak menduga akan sesulit ini bicara dengan bapaknya sendiri. Sejenak, pemuda itu menghela napas panjang sebelum kemudian mencoba mencari penjelasan pada bapaknya. “Jujur, Pak, aku betul-betul bingung. Dulu, waktu aku ngajak Endah pertama kali ke rumah ini, Bapak menyambutnya dengan begitu baik. Kenapa sikap Bapak itu sekarang beda ke Mei? Apa karena dia Tionghoa?”
“Kamu enggak perlu tau alasan Bapak. Bapak cuma mau kamu suruh dia pergi dari sini. Itu aja.”
Dimas mendengkus. Putus asa. Merasa tidak tahan lagi dengan perdebatan yang membuat telinganya panas, Li Mei beranjak meninggalkan halaman rumah Dimas sambil menahan air mata agar tidak tumpah.
Melihat hal itu, Handoko sama sekali tak tampak berempati. Bahkan sepertinya rasa simpati sudah tercabut dari hati Handoko yang sekarang sekaku karang. Dimas yang menyadari respons bapaknya tersebut, hanya berharap lelaki itu dapat berubah pikiran di detik-detik terakhir. Namun, sayang, harapannya terbuang percuma. Mau tak mau, Dimas pun memutuskan mengejar langkah Li Mei yang sengaja dilebar-lebarkan.
“Kamu mau ke mana, Mei?” tanya pemuda itu. Tapi, yang ditanya memilih untuk tidak menjawab. Alhasil, dengan menggunakan sepeda motornya, Dimas mencoba menyusul Li Mei yang sudah beberapa meter meninggalkan pekarangan rumahnya.
Sepeninggalan Dimas, terdengar suara daun pintu yang ditutup kasar. Tentu saja Handoko pelakunya. Sementara itu, Yanti, sang istri yang sedari tadi rupanya diam-diam memperhatikan perangai suaminya dari ruang tamu, hanya bisa menatap dalam diam. Ia sendiri bingung dengan perubahan sikap Handoko yang tidak biasa itu.
Di ujung jalan, Li Mei sudah tidak lagi kuasa menahan air matanya. Bendungannya pecah. Ia tak memedulikan Dimas yang kini telah menyejajari langkahnya dengan sepeda motor. Li Mei masih berusaha menyeka lelehan cairan bening di pipi. Ketika Dimas melintangkan motor untuk menghalangi langkah Li Mei, barulah perempuan itu menghentikan langkahnya.
Baru saja ingin membuka suara, tiba-tiba telepon genggam di kantong celana Dimas berbunyi. Keras sekali. Tak ingin suara dering tersebut mengganggu percakapannya dengan Li Mei, Dimas hendak mematikannya. Namun, begitu tahu kalau Endah yang menghubungi, pemuda itu langsung tersenyum cerah, seolah-olah baru saja mendapatkan secercah harapan dan jalan keluar. Ia terima panggilan itu.
“Aku ke kosanmu, ya. Tolong jangan ke mana-mana.” Hanya itu yang Dimas katakan, sebelum akhirnya ia memutus sambungan telepon Endah.