Matahari mulai redup, seolah-oleh hendak pamit pada semesta. Sementara itu, di peraduannya, senja pun telah bersiap menyapa. Di kejauhan, sekumpulan burung walet bergerombol menyambar langit, beriringan terbang menuju ke arah selatan. Tampak Dimas dan Li Mei berdiri di depan etalase kaca toko elektronik yang kemarin sempat mereka singgahi. Untuk kali kesekian Dimas memperhatikan jam tangannya. Jarum panjangnya terus saja bergulir membentuk lingkaran.
“Mau nunggu berapa lama lagi?” tanya Dimas pada Li Mei. Sesaat ia menyeka keringat yang bercokol di keningnya.
Li Mei melirik ke markah ‘Tutup’ yang menggantung di balik kaca pintu toko. “Sebentar lagi,” balas Mei singkat.
“Bisa kita coba esok hari? Sebentar lagi gelap,” tanya Dimas lagi. Sayangnya Li Mei menggeleng. Melihat itu, Dimas hanya bisa membuang napas.
Setelah sekian lama mengetuk pintu toko dan menanti seseorang keluar dari dalam, akhirnya yang mereka nanti-nanti terjadi jua. Lelaki berumur lebih dari setengah abad dengan kulit sawo matang melebarkan pintu toko. Lelaki itu lantas melongokkan kepalanya hingga sebatas leher.
“Cari siapa?” tanyanya menatap Dimas dan Li Mei bergantian.
Li Mei segera menghampiri lelaki tersebut. “Bapak pemilik toko ini?”
Lelaki paruh baya itu mengangguk, kemudian terdengar suara batuk kering dari mulutnya. Dari penampilannya, jelas lelaki tadi sedang tidak dalam kondisi sehat. Barangkali itu yang lantas membuatnya memutuskan untuk tidak membuka toko hari ini.
Li Mei melempar pandangan bingung ke Dimas. Sementara Dimas hanya mengangkat kedua alisnya selama beberapa detik, menandakan kalau pemuda itu pun sama bingungnya dengan apa yang sebenarnya Li Mei rencanakan. Dimas mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Li Mei kepada sang pemilik toko.
“Apa Bapak tau di mana keberadaan pemilik lama toko ini?” Li Mei segera melontarkan pertanyaan yang mendekam di dalam pikirannya sejak bermenit-menit yang lalu.
“Pemilik lama?” Lelaki di hadapan Li Mei itu pun lalu menggeser pintu dan membuka celahnya agar lebih lebar.
“Namanya Li Hong, papa saya. Bapak pasti kenal, kan?” todong Li Mei cepat dan penuh harap.
Lelaki itu kini memalingkan pandangan ke hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu lalang di jalanan depan tokonya. “Tiga tahun lalu saya beli toko ini dari seorang makelar. Dan maaf, saya enggak kenal nama yang kamu sebutkan tadi.”
Setitik harapan Li Mei itu pun robek tanpa ampun. Dadanya kembali sesak, seolah dunia benar-benar tak memberinya kesempatan untuk menemukan jawaban. Li Mei kembali dihadapkan pada jalan buntu dan keputusasaan. Dari posisinya berdiri dan dari celah pintu yang terbuka lebih lebar, Li Mei bisa mengamati bagian dalam toko dengan jelas. Sebelum dipenuhi barang-barang elektronik, di sana dulu berdiri deretan rak-rak dengan susunan barang-barang dagangan milik Li Hong. Li Mei masih hafal betul bagaimana papanya dulu menata barang-barang tersebut dengan sedemikian rapi: pasta gigi bersebelahan dengan sabun cuci, gula di dekat kopi dan teh, hingga karung-karung beras ditempatkan di depan meja kasir. Sementara itu, jerigen-jerigen berisikan minyak tanah diletakkan di tempat paling jauh dan terasing agar tidak menumpahi barang-barang lain. Bahkan saat ini hidung Li Mei seolah-olah bisa menghirup aroma minyak tanah yang menetes di lantai ketika dulu Li Hong melayani pembeli-pembeli yang ingin disegerakan.
Sebutir kristal bening menetes di sudut mata Li Mei. Perempuan itu mencoba tetap berdiri tegak meski sepasang kakinya terasa sedemikian lunglai. Bibir Li Mei yang sudah tak lagi sanggup berucap itu pun hanya bisa mengatup rapat. Sedangkan Dimas yang merasakan perubahan pada raut wajah Li Mei, spontan mendekatkan tubuhnya tepat di samping perempuan tersebut.
“Mei? Kamu enggak apa-apa, kan?” tanya pemuda itu.
“Bapak benar enggak kenal papa saya?” Li Mei kembali mengulang pertanyaannya kepada si pemilik toko. Seolah-olah belum siap menerima kenyataan. Tentu saja lelaki paruh baya di hadapannya itu kembali melontarkan jawaban yang sama bahwa ia sungguh tidak mengenal sosok bernama Li Hong.
Dimas mencoba menenangkan Li Mei. “Gimana kalau kita ke toko sebelah, mungkin ada yang kenal dengan bapakmu, Mei,” pungkas Dimas berusaha menghidupkan kembali harapan Li Mei dan berusaha untuk menemukan titik terang. Namun, rupanya Li Mei malah menggeleng. “Kenapa?”
Tanpa menatap lawan bicaranya, Li Mei menjawab singkat. “Dulu belum ada toko di situ.”