Lampu di salah satu kamar di rumah berukuran tidak terlalu besar itu terlihat masih menyala, sementara keadaan di sekitar kamar sudah sepi. Samar-samar terdengar lagu Goodbye dari Air Supply yang mengalun dari pengeras suara di dalam kamar. Kopi dalam gelas di atas meja tinggal separuh. Di sebelahnya, sebuah asbak dekat komputer sudah dipenuhi abu dan puntung rokok. Bau rokok menyengat menguar di langit-langit kamar. Entah sudah berapa batang rokok yang Dimas habiskan selama duduk di depan layar komputernya tersebut. Bahkan derasnya embusan angin yang bersumber dari kipas angin di sudut ruangan tak mampu mengusir gumpalan asap yang seolah terperangkap di awang-awang tadi. Padahal sedari tadi jendela kamar telah sengaja dibiarkan terbuka.
Lelaki bertubuh kurus itu menatap deretan ketikan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa. Sesekali jemarinya seolah-olah menari di atas keyboard yang beberapa tombol hurufnya sudah pudar. Dimas bersemangat sekali untuk menuliskan berita tentang aksi demo lanjutan yang sudah ia abadikan dalam lensa kameranya di sela-sela tugasnya membantu Li Mei. Ia yakin berita yang dibuatnya kali ini akan bisa menjadi tajuk utama dalam surat kabar. Lantas, sang redaktur koran tersebut akan mempertimbangkannya menjadi wartawan tetap seperti halnya Endah.
Senyum tipis tersungging di bibir Dimas. Sejenak pemuda itu meregangkan otot-otot tubuhnya demi menghilangkan kepenatan yang menjalari raga. Ingatannya kembali melayang ke peristiwa saat beberapa tulisan yang pernah ia ajukan ditolak mentah-mentah oleh sang redaktur koran.
Pak Beni—si pimpinan redaktur—melemparkan kertas berita yang sudah susah payah Dimas kerjakan di hadapan pemuda tersebut. “Berita apa yang kamu angkat ini, Dimas? Ini berita basi. Koran sebelah sudah mengangkatnya kemarin dan berhasil jadi topik pembicaraan. Coba kamu mikir cepat dan cerdas!” Pimpinan redaktur koran itu kemudian mengusir Dimas dari ruangannya.
Tidak hanya kali itu berita yang Dimas berikan mendapat penolakan. Pak Beni bahkan pernah berkata jika bukan karena Endah, ia tidak akan sudi menerima dan membaca tulisan Dimas. Buang waktu, katanya. Maka, sudah saatnya kini Dimas akan mengambil kesempatan agar bisa menjadi wartawan tetap di kantor berita yang sama dengan Endah. Berita yang sedang ia kerjakan ini nantinya pasti akan berhasil menjadi tajuk utama. Dimas yakin itu!
Suara ketukan dan langkah kaki membuyarkan lamunan Dimas. Yanti masuk ke kamar putra semata wayangnya itu. Tatapan perempuan paruh baya itu tampak sendu ketika memperhatikan Dimas saat sedang serius bekerja.
“Sudah hampir jam tiga pagi, Dim? Kapan kamu tidurnya? Keseringan begadang enggak baik, loh, buat kesehatan,” ujar Yanti sambil mengusap punggung anaknya lembut.
“Sebentar lagi juga selesai, Bu.” Tanpa menoleh ke arah Yanti, Dimas tetap fokus menghadap layar komputer. Yanti cuma bisa menghela napas berat, lalu ia pergi meninggalkan kamar putranya tersebut.
***
Suara deru motor Dimas terdengar membelah halaman ketika kedua orang tuanya tengah duduk santai di sofa ruang tamu. Langkah pemuda itu gontai. Wajahnya tampak sekali lesu, tak bersemangat. Sambil menenteng tas ransel di bahu kanannya, Dimas memasuki rumah tanpa mengucapkan salam. Tentu saja hal itu langsung membuat Handoko menegurnya.
“Masuk rumah kok enggak pakai salam. Tata kramamu mana?” Handoko menatap sengit anaknya. Yanti yang sedang membaca tabloid kuliner di samping Handoko begitu terkejut dengan bentakan suaminya ke Dimas itu.
Tidak ingin berdebat panjang lebar, Dimas lalu mengucap salam sesuai permintaan sang bapak.
“Kamu masih kerja di kantor surat kabar? Dasar anak sok idealis. Pekerjaan enggak ada uangnya gitu aja masih diseriusin. Mending kamu cari kerjaan lain yang lebih bener. Biar dapat gaji tetap tiap bulan, terus nikah. Ingat … umurmu itu sudah kelewat matang, Dim.”
Mendengar omelan Handoko itu, Dimas hanya menoleh sekilas. Ia sungguh tidak ingin merespons ucapan bapaknya tadi. Namun, nyatanya, karena menganggap Dimas tak menggubris nasihatnya, Handoko malah naik pitam. Ia lalu berdiri dan menghalangi langkah Dimas yang hendak menuju kamar.
“Dim, duduk!” titah Handoko tanpa ingin dibantah. Yanti yang mampu melihat benih pertengkaran di antara keduanya, segera menyusul untuk menenangkan Handoko. Ia raih kedua bahu suaminya tersebut dari arah belakang.
“Pak, biarkan Dimas istirahat. Dia pasti lagi capek. Nanti kita bahas lagi kalau Dimas sudah selesai istirahat.”