Berkali-kali Dimas membuka dan menutup matanya seiring dengan jarum jam dinding yang terus berdetak. Di luar, warna gulita masih melekati pemukaan langit. Dimas berharap kegelapan tersebut cepat menjelma benderang. Lelaki berambut legam itu sudah tidak sabar menantikan hari esok yang dianggapnya akan mampu membawa euforia berbeda dari hari-hari kemarin. Asanya juga bertambah menjadi berkali lipat. Ia yakin jika rencananya kali ini akan membuahkan hasil. Dimas merasa Li Mei adalah sebuah kunci untuknya.
“Bapak mana, Bu? Kok, tumben enggak ikut sarapan dengan kita?” tanya Dimas curiga seraya menyendokkan nasi goreng buatan Yanti ke piring miliknya. Tidak biasanya Handoko tak ikut sarapan bersama mereka. Padahal, biasanya lelaki paruh baya tersebut akan selalu menjadi yang pertama yang duduk di meja makan saban pagi. Kealpaan Handoko itu tentu saja mengusik rasa penasaran putranya.
“Masih di kamar, Dim. Katanya nanti aja sarapannya. Bapak mau tidur lagi sebentar karena ngerasa enggak enak badan.”
Wanita berwajah hangat itu akhirnya bergabung dengan anak tunggalnya di meja makan yang tampak telah usang namun tentu masih sangat kokoh itu. Mereka duduk saling berhadapan. Yanti mulai mengambil porsi sarapannya yang tidak terlalu banyak: setengah centong nasi goreng, ditambah satu telur ceplok setengah matang. Menu tersebut memang memang menjadi andalan dan sering tersaji sebagai menu sarapan di atas meja makan keluarga Dimas. Bahkan, Dimas bisa menghitung berapa kali ibunya menyiapkan menu lain dalam rentang waktu satu bulan. Tentu hal tersebut tidak menjadi masalah, karena memang Dimas dan Handoko sama-sama menyukai nasi goreng kampung buatan Yanti tersebut.
“Bapak beneran enggak enak badan?” tanya Dimas ulang.
Entah kenapa jawaban yang diberikan sang ibu tadi tidak begitu membuat Dimas puas. Ia menganggap jika ketidakhadiran bapaknya di meja makan pagi ini memang sengaja karena ingin menghindarinya. Mendapati pertanyaan tersebut, setelah menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut, Yanti mengangguk. Dimas yang tidak bisa menuntut jawaban lebih hanya bisa menghela napas.
“Bu …,” ucap Dimas pelan seolah ingin mengutarakan hal yang penting. Tentu saja hal tersebut membuat Yanti langsung mengalihkan pandangan ke arah Dimas. “Dimas yakin kalau sebentar lagi Dimas bakal jadi jurnalis tetap. Nantinya, judul berita dan nama Dimas sebagai jurnalis akan dimuat di halaman paling depan. Ibu harus percaya sama Dimas,” sambung pemuda itu dengan kobaran semangat di matanya. Beberapa kali ia juga menoleh ke arah belakang, sekadar memastikan bahwa Handoko tidak muncul tiba-tiba dan mendengar ucapannya. Dimas tidak ingin memancing perdebatan dengan bapaknya lagi.
“Iya, Dim. Ibu yakin kamu bakal sukses. Tapi biar bagaimanapun, kamu harus ingat pesan Ibu semalam, ya?”
Dimas mengangguk seraya mengiakan perkataan ibunya. Setelahnya, pemuda itu malah hanya mengaduk-aduk sisa nasi goreng di piringnya. Wajah Dimas pun menyiratkan seolah-olah ada hal lain yang ingin ia sampaikan. Ada keraguan yang juga tidak bisa dimungkiri di dalam hatinya.
“Bu ….” Dimas kembali membuka suara.
Yanti menyahut tanpa menghentikan aktivitas sarapannya.
“Apa Ibu percaya kalau Dimas bilang Li Mei itu berasal dari tahun 98?”
Sepenggal pertanyaan yang dilontarkan Dimas membuat Yanti seketika menghentikan segala pergerakannya. Nasi yang sudah siap mendarat di mulutnya pun berhenti di udara. Mata Yanti membelalak sempurna. Ia khawatir dengan penuturan Dimas yang dianggapnya ngelantur.