Kalau ada yang menganggap dirinya sedang keranjingan sesuatu, maka Dimas tidak akan menyalahkan orang tersebut. Sebab, hal itu ada benarnya. Ia sendiri sadar jika sejak tiga hari belakangan ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari informasi mengenai kerusuhan Mei 1998. Dimas tidak lagi sibuk memikirkan bahan liputan seperti biasa. Ia rasa kali ini apa yang dicarinya jauh lebih besar dari itu semua. Jika sebelumnya Dimas lebih banyak singgah di warung-warung kopi bersama para pencari berita lain, maka sekarang ia lebih banyak berkutat di depan setumpuk berkas dan artikel lawas, serta menatap lama-lama layar monitor komputernya. Sungguh, tidak ada celah bagi Dimas untuk mengendurkan semangatnya yang membara, seolah-olah terus membakar dan tidak pernah rela untuk menjadi padam. Di dalam pikiran pemuda tersebut, selain akan mengungkap perihal tragedi ‘98, ia juga akan bisa menemukan identitas Li Mei. Mungkin pula, ini akan menjadi titik balik untuk kesuksesan Dimas ke depannya.
Di pinggir jalanan Kota Jakarta yang tidak pernah lengang, Dimas terlihat duduk menunggu salah satu senior jurnalisnya yang pernah membuat artikel mengenai tragedi kelam itu. Ia duduk di atas jok motornya yang terparkir di sebelah halte bus Lenteng Agung, tidak jauh dari stasiun kereta di depannya. Keramaian yang sama sekali tidak menandakan akan berangsur sepi itu, membuat Dimas kembali memperhatikan perguliran jarum jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Dari raut wajahnya, Dimas mulai cemas saat membayangkan kalau temannya itu bisa saja tidak datang. Padahal sudah sejak semalam Dimas meski menahan kesabarannya hingga ke tingkat yang paling tinggi demi mendapatkan artikel-artikel yang lebih lengkap dari sang senior. Namun, meski sudah hampir dua jam berlalu dan tanpa kabar, sosok yang ditunggunya itu tidak kunjung terlihat batang hidungnya.
Namanya Abdul. Ia bekerja di salah satu kantor redaksi ternama di Jakarta. Mungkin sekitar delapan atau sembilan tahun laki-laki asli Betawi itu menjadi jurnalis di sana. Perkenalan mereka terjadi kala keduanya sempat bertemu di sebuah seminar yang berlangsung dua tahun lalu. Berkat keingintahuan Dimas yang cukup besar, ia akhirnya tahu bahwa selama ini Abdul sering menulis artikel mengenai kerusuhan ‘98 dan juga hal-hal yang jarang terekspos. Salah satu artikel yang paling Dimas ingat adalah sepotong kisah yang Abdul tulis mengenai kejadian nyata seorang tentara yang menolong salah satu korban kerusuhan. Hebatnya lagi, berita tersebut terpampang di bagian halaman depan surat kabar, lengkap beserta gambar yang berhasil Abdul abadikan di saat kejadian. Dimas amat bersyukur dirinya bisa memiliki teman-teman jurnalis yang begitu kompeten di bidangnya. Terutama Endah yang ia letakkan di posisi nomor satu. Paling tidak, dari perempuan tersebut, Dimas bisa mendapatkan banyak sumber terpercaya untuk pekerjaannya sekarang.
“Maaf, Dim. Tadi saya ada urusan mendadak. Kelamaan nunggu, ya?” tanya Abdul ketika memarkirkan Honda keluaran pertengahan tahun ‘90-an miliknya di dekat halte.
“Enggak apa-apa, kok, Bang. Justru saya yang mau minta maaf karena udah ngerepotin Bang Abdul,” balas Dimas dengan wajah sungkan pada lelaki berkulit sawo matang di hadapannya.
Abdul lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel: sebuah map cokelat. Abdul pun menyodorkan benda persegi panjang itu kepada Dimas. “Ini berkas yang kamu minta.”
Dimas tampak antusias. Matanya berbinar. Baru saja akan menerima map pemberian Abdul itu, tiba-tiba sang senior menahannya sebentar. Laki-laki itu menatap Dimas amat serius.
“Kamu serius mau bahas tentang ini? Apa enggak ada pembahasan lain yang bisa kamu angkat?” Abdul berusaha meyakinkan Dimas. Muncul setitik keraguan di hati Abdul ketika juniornya itu bercerita panjang lebar tadi malam.
“Serius, Bang. Enggak mungkin saya main-main soal artikel ini. Saya juga tahu kalau banyak kejadian tiga tahun lalu yang masih sangat sensitif sampai sekarang. Tapi, justru ini kesempatan bagus buat saya.”
Abdul masih memandang Dimas dengan cemas. “Saya cuma mau ingetin kamu, Dim. Kamu harus hati-hati selagi membuat berita tentang ‘98. Dulu, saya pun sempat adu argumen sama atasan. Beliau enggak mau ambil risiko. Butuh revisi berkali-kali sampai akhirnya artikel-artikel saya aman dimuat di koran.”
“Iya, Bang. Saya paham.”
“Dan yang harus kamu tahu, kalau sampai detik ini masih banyak tragedi yang belum ada kejelasannya. Semuanya masih abu-abu. Siapa yang salah dan benar, enggak bisa ditentukan. Jangan sampai kamu salah langkah dan bikin karier kamu sebagai jurnalis jadi berantakan,” lanjut Abdul bak seorang guru yang sedang memberi petuah kepada muridnya.
“Tenang, Bang. Saya pasti ikutin semua saran Bang Abdul. Makasih banyak, ya, Bang.”
Abdul mengangguk kecil, meski masih ada semburat kekhawatiran di ekspresinya. Tidak bisa dimungkiri jika di balik itu semua diam-diam ia juga salut dengan semangat Dimas yang berapi-api.
***
Beberapa artikel dan bahan-bahan berita lama mengenai korban-korban kerusuhan ‘98 sudah lebih dari cukup Dimas kumpulkan. Banyak referensi yang bisa Dimas dapatkan dari berkas-berkas tersebut. Endah sangat membantunya dalam hal ini. Barangkali suatu saat nanti Dimas akan mengajak Endah liburan ke luar kota. Kini, dengan modal dan pengetahuan yang telah ia punya, Dimas ingin menanyakan banyak hal pada Li Mei. Untuk itu, Dimas sengaja mengajak Li Mei nongkrong di sebuah warung kopi yang tak jauh dari kosan Endah.
“Mau pesan apa? Ini warung kopi langgananku dan Endah. Meskipun sama-sama kopi tapi warung ini juga menyediakan mi instan. Mau?” tanya Dimas sesampainya mereka di sana.
Warung kopi itu memang tidak begitu besar dan luas, tapi suasananya cukup nyaman dan bersih. Berhubung mereka berkunjung pada pagi hari, jadi tidak begitu banyak pelanggan yang datang. Hanya ada beberapa orang bapak-bapak yang duduk di dekat pintu dengan cangkir-cangkir berisi kopi hitam di hadapan masing-masing.
“Aku pesan mi rebus aja, Dim.”
“Minumnya?”