Perempuan Merah

Alfian N. Budiarto
Chapter #8

Bab 8

Pukul 7 pagi. Seulas senyum terbit dari bibir Dimas saat ia berhasil menyelesaikan satu artikel berita. Tatapannya fokus ke layar komputer, sudah kali ketiga pemuda itu menyunting tulisannya dan membaca ulang. Ia benar-benar memperhatikan setiap detail tulisannya. Kali ini, Dimas tidak mau ada kesalahan ketik pada artikel berita yang ditulisnya. Setelah Dimas merasa tulisannya layak disetorkan pada kepala redaktur, ia segera mencetak dan memasukkan tulisannya  ke dalam sebuah map cokelat.

Sambil menunggu hasil cetaknya, Dimas berdiri di depan jendela, menikmati udara pagi yang berembus sepoi. Sejenak, Dimas memandang jam dinding yang menggantung di tembok kamarnya. Saat ini bapaknya pasti sudah berangkat ke pabrik garmen, sedangkan sang ibunya seperti sedang melihat televisi. Terbukti dari suara pembawa acara televisi yang bisa terdengar sampai kamar Dimas.  

Setelah semua bahan telah siap ia bawa, Dimas mematikan komputernya dan bersiap mandi dan langsung menuju kos Endah sebelum ke kantor redaksi. Harapan dan keyakinannya cukup tinggi. Menurutnya, apa yang ia bahas kali ini unik dan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Pemuda itu tersenyum semringah sembari meraih handuk yang menggantung di balik pintu kamar, lalu beranjak ke kamar mandi. 

“Mau ke mana, Dim? Enggak sarapan dulu?” tanya sang ibu saat melihat anaknya sudah dalam kondisi rapi. 

Dimas menghentikan langkahnya dan berpamitan pada Yanti yang masih menonton televisi di ruang tengah. “Mau ke kos Endah, Bu. Nanti aja sarapannya di jalan. Doakan kali ini Dimas sukses, ya, Bu. Dimas juga mau setor berita ke kantor, semoga diterima dan bisa jadi tajuk utama.”

“Insya Allah, Dim.” Perempuan itu tersenyum lalu mendoakan anak semata wayangnya. Yanti mengantar Dimas sampai depan pintu.

Setelah berpamitan pada sang ibu, Dimas lalu memacu motornya dengan kecepatan sedang. Suasana hatinya sedang berbahagia. Tidak pernah ia merasa sebahagia ini. Rasanya seluruh beban yang ada di pundaknya luruh. Dimas merasa cita-cita sebentar lagi akan terwujud. Ia membayangkan bakal mendapat pekerjaan tetap sebagai wartawan dan berharap karier kewartawanannya akan cepat melesat. 

Sesampainya di kos Endah, Dimas memarkir kendaraannya di halaman. Aura bahagia begitu tampak dari raut wajahnya. Ia ingin berbagi kebahagiaan itu dengan Endah. Namun, ternyata suasana hati Dimas tadi berbanding terbalik dengan apa yang Endah rasakan. 

Di ruang tamu, Dimas menemukan Endah yang duduk sendirian. Perempuan itu rupanya sedang melamun hingga ia tidak menyadari bahwa Dimas sudah duduk di sampingnya. Sekali lagi Dimas menyapa Endah, tapi perempuan itu tetap bergeming. Tatapan matanya kosong dengan raut wajah seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Endah, hei!” Satu tepukan pada lengan Endah itu akhirnya menyebabkan perempuan tersebut tersadar dari lamunannya.

“Apaan, sih, bikin kaget aja!” sungut Endah.

“Lha, kamu aku panggil beberapa kali enggak direspon. Malah bengong. Eh, ngomong-ngomong Li Mei mana?” tanya Dimas sambil celingukan mencari sosok Li Mei di dalam kosan Endah. Pintu kamar mereka yang terbuka membuat Dimas meyakini bahwa perempuan etnis Tionghoa itu memang tidak sedang berada di dalam kamar.

“Ngapain nanyain Li Mei? Dia lagi keluar. Katanya mau cari angin. Kalau mau ketemu dia samperin aja. Paling juga ke taman di ujung jalan,” jawab Endah ketus.    

 ”Enggak apa-apa. Toh, aku ke sini karena mau ketemu kamu, kok. Eh, Ndah, aku ada kabar bagus. Aku sudah bikin artikel berita semalaman. Aku yakin kali ini ini bakal diterima Pak Beni.” Dimas memulai mengajak Endah berbicara.

“Oh,” sahut Endah datar.

Lihat selengkapnya