Dari balik jendela, sorot mata Endah berkaca-kaca ketika memandangi kepergian Dimas. Seperti halnya matahari yang mulai terik, guncangan di hati Endah turut memekik. Ia memikirkan kembali apakah mengungkapkan perasaannya kepada Dimas merupakan pilihan yang salah? Hingga Dimas tak melayangkan respons apa pun terhadapnya. Endah hanya bisa menghela napas. Baginya, yang terpenting Endah sudah menyampaikan unek-unek yang selama ini dikuburnya dalam-dalam.
Tirai berwarna biru di hadapan gadis itu digesernya kembali, hingga menghalau cahaya yang datang dari luar sana. Jendela tertutup rapat, seolah-olah berkolaborasi dengan suasana yang kembali sunyi. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar di ruang tamu itu. bergulir. Persis seperti potret hati Endah yang diselimuti lara tak terperi. Dengan gontai Endah masuk ke kamarnya dan mengunci dirinya di sana.
Tidak lama, dari arah luar, Li Mei melangkahkan kakinya masuk. Li Mei bertingkah seakan-akan tidak mengetahui peristiwa yang beberapa menit lalu terjadi. Seharusnya, Li Mei tidak perlu terlalu khawatir bersikap di depan Endah. Sebab yang namanya perasaan memang terkadang tidak tertebak dan bisa jatuh kepada siapa saja. Apalagi tumbuh di tengah ikatan persahabatan antara Endah dan Dimas yang sudah terjalin selama bertahun-tahun.
Ketika kaki Li Mei sudah menapaki ruang tamu, sepasang matanya terpaku pada sesuatu di atas meja: sebuah map berwarna cokelat. Sesaat, Li Mei kembali teringat kenangannya bersama Li Hong. Dulu, di toko kelontong milik mereka juga menjual map yang sama. Li Hong menyusunnya di sebuah rak yang khusus memajang peralatan tulis dan kantor. Kepada Li Hong, Li Mei sering meminta izin untuk mengambil beberapa map dan amplop dengan alasan ingin mengirimkan lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan. Tapi, hasilnya tidak satu pun lamaran kerja Li Mei itu berbalas. Untuk menenangkan hati putri kesayangannya itu, Li Hong mengatakan kalau sebetulnya Li Mei tidak perlu melamar pekerjaan sebagai karyawan kantoran. Karena toko milik Li Hong itu kelak juga akan lelaki paruh baya itu wariskan pada Li Mei sebagai satu-satunya darah dagingnya. Li Mei yang nantinya akan mengelola toko tersebut.
Karena penasaran, Li Mei mencoba memeriksa isi di dalam map yang memang tidak tersegel itu. Ia mulai menebak-nebak map itu milik Dimas atau Endah. Saat mengintip isi di dalam map tadi, tiba-tiba selembar kertas meluncur jatuh. Sontak saja mata Li Mei yang tadinya masih ragu, kini membelalak bak baru saja mendapat sebuah tamparan keras. Di judul artikel yang memang sengaja dicetak tebal, terpampang sebuah tulisan yang mencengangkan: PEREMPUAN TIONGHOA YANG MENGAKU BERASAL DARI 1998. GILA ATAUKAH FAKTA?
Li Mei kembali mengeluarkan lembaran demi lembaran lain dari dalam map cokelat tadi. Di akhir artikel, dengan jelas Li Mei bisa menemukan nama Dimas Prasetyo sebagai nama si pembuat. Banyak hal yang lantas mengusik pikiran Li Mei. Li Mei pun mulai menekuri satu per satu kalimat yang Dimas ketikkan. Perempuan itu kaget saat tahu jika ia adalah objek utama di dalam artikel tersebut. Bahkan di sana, Dimas mencantumkan nama Li Mei dengan begitu gamblang. Tanpa sensor. Selayaknya nama perempuan itu bukanlah sesuatu yang wajib dilindungi privasinya.
Halaman demi halaman itu menyerukan beragam informasi tentang hal-hal yang lekat sekali dengan hidup Li Mei: kerusuhan 1998, etnis Tionghoa, dan korban jiwa yang berjatuhan. Termasuk Li Mei yang mengaku dari masa lalu. Alhasil, tulisan yang diketik oleh Dimas tanpa sepengetahuan perempuan itu dalam sekejap mampu mengusir ketenangan Li Mei. Seseorang yang selama ini berada di dekatnya dan ia anggap sebagai dewa penolong, nyatanya malah menusuknya diam-diam dari belakang. Li Mei seolah-olah hanya dijadikan sebagai objek berita yang bisa menaikkan pamor lelaki tadi untuk bisa memenuhi ambisinya menjadi seorang jurnalis tetap.
Deru suara motor yang berhenti di depan halaman kos Endah membuat Li Mei terpaku di posisinya. Bahkan ketika Dimas yang kembali karena sadar berkasnya tertinggal di atas meja telah membuka pintu, Li Mei hanya melemparkan tatapan kecewa pada pemuda tersebut. Dimas terperangah ketika mengetahui berkas miliknya sudah berada di tangan Li Mei. Mendadak, hati Dimas meledak gusar. Bahkan, tidak bisa dimungkiri kalau di dalam tatapan matanya kini ada sepercik kekhawatiran tentang Li Mei. Akankah semua yang ia tulis dengan susah payah itu telah menyinggung perasaan Li Mei? Sebelumnya, Dimas sama sekali tak memikirkan hal tersebut. Baginya, ia hanya ingin mengangkat sesuatu yang menarik untuk bisa dipublikasikan. Itu saja, tanpa memikirkan konsekuensinya sama sekali.
Dimas membesarkan nyalinya untuk memberikan alasan rasional pada Li Mei yang seperti sedang membara. Tatapan perempuan itu begitu nyalang. Mimik wajah Li Mei jelas sekali tengah dipenuhi amarah.
“Apa maksud semua ini, Dim?!” suara Li Mei bergetar hebat, antara marah dan juga kecewa atas tindakan yang sudah Dimas lakukan.
Dengan hati-hati Dimas berupaya menenangkan perempuan yang menjadi objeknya di berita itu. “Mei … bisa aku jelaskan. Kamu jangan emosi dulu.”