Perempuan Merah

Alfian N. Budiarto
Chapter #10

Bab 10

Selama berjam-jam Dimas menyesali seluruh tindakannya yang bisa saja merugikan Li Mei. Belum lagi pemuda itu juga harus tetap memikirkan perasaan Endah kepadanya. Sungguh, kini Dimas merasa begitu frustasi. Ia pun kembali mengenang pertemuannya yang tidak sengaja dengan Li Mei, juga hasratnya di bidang jurnalistik. Keingintahuannya, kekritisan pemikirannya, juga rasa ingin menguak sesuatu yang orang lain tidak pernah ketahui. Semua itu seolah-olah berkelindan di dalam kepala. Artikel yang semula ia anggap akan membuat namanya dielu-elukan, banjir pujian, malah membuat hubungannya dengan Li Mei berantakan. Dimas jadi ingat pesan dari Abdul tempo hari: ia harus berhati-hati jika ingin mengangkat hal-hal yang bersifat sensitif. Selama ini, Dimas hanya menganggap enteng nasihat seniornya tersebut. Dan penyesalan memang selalu datang belakangan.

Sosok yang sempat digadang-gadang Dimas akan menjadikan dirinya tenar, malah kini membuatnya tidak tenang. Entah kenapa, saat ini bayangan wajah perempuan berwajah oriental itu seperti tidak bisa lepas dari benaknya. Gurat kecewa begitu kentara di mata Li Mei seperti kali terakhir mereka bertatap muka. Hal itu tentu saja membuat Dimas resah. Gelisah. Pemuda itu lantas mengempaskan tubuh kurusnya di atas tempat tidur. Ia tatap nanar tumpukan berkas yang ia gunakan sebagai bahan menulis artikel mengenai Mei, korban kerusuhan ‘98, juga dugaan Li Mei yang terjebak di masa depan.

Nada dering ponsel membuyarkan lamunan Dimas. Segera saja ia raih benda itu dari kantong celananya. Berharap kalau orang yang menghubunginya adalah Endah yang membawa kabar gembira kalau Li Mei sudah tidak marah lagi. Sayang, harapan itu masih terlalu dini untuknya. Pelipis Dimas mendadak berdenyut hebat ketika mendapati nama “Pak Beni” terpampang di layar berpendar tersebut.

Dimas sengaja tidak mengangkat panggilan tersebut. Dipandanginya terus alat komunikasi di tangannya itu. Hingga bunyinya berhenti sebentar, tapi kemudian menyala lagi. Pemuda itu tahu kalau sang kepala redaktur akan menagih janjinya. 

Tadi malam, karena kesombongannya, Dimas memberanikan diri menghubungi Pak Beni dan mengatakan bahwa ia sudah memiliki sebuah tulisan yang bombastis. Ia berjanji akan menyerahkan tulisan tersebut siang ini ke kepala redaktur tadi. Tapi, petaka tampaknya telah berhasil mencegah rencana Dimas tadi. Dimas juga membayangkan apa jadinya jika artikelnya mengenai Li Mei sampai lolos dan terbit di halaman muka surat kabar dan menjadi konsumsi publik. Li Mei tentu tak akan memaafkannya seumur hidup. Memikirkan itu semua, Dimas hanya bisa mencengkeram rambutnya kuat-kuat, lalu mengacaknya dengan begitu frustrasi.

Dimas masih ingat betul percakapannya melalui sambungan telepon dengan Pak Beni tadi malam ketika berusaha meyakinkan lelaki paruh baya itu untuk mau memuat artikel yang sedang ditulisnya di halaman utama.

“Saya punya artikel yang enggak akan pernah dituliskan oleh jurnalis mana pun,” katanya dengan berapi-api. Meskipun beberapa kali Pak Beni terdengar menanggapi dengan nada menyangsikan, tetapi hal itu tidak menyurutkan niat Dimas. “Saya yakin, begitu tulisan saya ini dimuat, orang-orang akan membicarakannya.”

“Kamu sadar dengan yang barusan kamu katakan?”

Pak Beni tentu tidak langsung percaya begitu saja. Ia masih sangat ragu dengan yang disampaikan Dimas. Selama ini, belum ada satu pun berita buatannya yang berhasil menjadi buah bibir. Semuanya standar dan mudah lepas dari ingatan. Kalau bukan karena Endah, si wanita pujaannya, sudah lama ia ingin menendang pemuda itu dari kantornya.

“Seratus persen, Pak. Jangankan media cetak, stasiun TV pun nantinya pasti akan rebutan ingin menayangkan hal ini.”

Antusiasme Dimas yang tidak mengendur walau ditanggapi sinis itu nyatanya mampu menggugah rasa penasaran sang redaktur. Tak ayal lagi, lelaki itu pun menanyakan lebih lanjut apa yang hendak dituliskannya.

Pak Beni seolah-olah telah memberinya lampu hijau. Tanpa takut dicemooh, Dimas mulai menceritakan garis besar bahan tulisannya tersebut. Pak Beni sempat menertawakan ceritanya sampai akhirnya Dimas mengingatkan pria itu pada peristiwa-peristiwa lampau dan kemungkinan-kemungkinannya.

“Oke. Saya tunggu versi lengkapnya. Setelah itu baru akan saya pertimbangkan ulang layak terbit atau tidaknya. Usahakan pilih judul yang spektakuler. Judul yang bisa bikin orang langsung tertarik membacanya.”

“Siap, Pak. Terima kasih atas kesempatannya. Saya tidak akan mengecewakan Bapak.”

Ponsel yang tergeletak di atas meja kamar Dimas kembali memekik. Bunyi telepon itu tidak kunjung berhenti, membuat Dimas panik dan khawatir. Menjadi jurnalis tetap memang masih menjadi impian Dimas. Ia sudah melakukan banyak hal untuk bisa mewujudkannya. Mimpi itu sebentar lagi bisa jadi akan menjadi nyata. Hanya tinggal selangkah terakhir. Akan tetapi, perasaan ragu justru menyelimutinya ketika memikirkan perasaan Li Mei dan Endah kelak. Belum pernah Dimas merasa seragu itu untuk melangkah. Demi mengejar mimpi, persahabatannya seolah-olah sedang dipertaruhkan.

Seketika wajah kecewa Li Mei kembali mengisi benak Dimas. Rasa bersalah pun menyergap. Apa betul yang dibilang Li Mei kalau dirinya egois dan hanya memanfaatkan perempuan itu? Apa betul ia tidak punya hati nurani? Dimas jadi mempertanyakan keputusan dan rencananya yang bakal menjadikan Li Mei sebagai objek berita.

“Ya Tuhan! Kenapa jadi rumit begini?” ratap Dimas. 

Saat itu juga, tiba-tiba secercah harapan menyelinap. Tanpa buang masa, Dimas segera mengantongi ponselnya, memakai jaket denim usang, serta menyampirkan ransel di pundak, dan menyambar kunci motor kesayangannya. Tujuannya hanya satu: kosan Endah dan bicara dengan Li Mei.

***

Lihat selengkapnya