Semua rencana yang telah susah payah Dimas bangun pada akhirnya harus ia kandaskan sendiri. Peluangnya untuk mendapatkan predikat sebagai jurnalis tetap kembali ia kubur dalam-dalam. Bagaimana tidak, mana mungkin Dimas rela mendapatkan posisi tersebut jika orang lain harus menderita karenanya? Barangkali, Tuhan masih meminta Dimas untuk menunggu. Bukan karena Dimas tidak becus, tapi memang belum saatnya saja. Tuhan ingin Dimas bersinar di saat yang tepat.
“Maaf, Pak, aku benar-benar enggak bisa kirim artikel itu.” Begitulah setelah Dimas berkali-kali mengabaikan panggilan Pak Beni, dan pada akhirnya ia menerimanya. Dimas tahu keputusan itu berarti ia telah mempertaruhkan peluangnya, termasuk sisa kepercayaan yang masih Pak Beni berikan padanya.
“Sudah merasa hebat, hah? Kalau sikapmu kayak gitu, jangan mimpi bisa jadi jurnalis tetap di redaksi mana pun. Kamu hanya akan jadi penulis buangan yang enggak pantas bikin berita.” Kalimat Pak Beni yang terdengar sangat kasar itu merupakan salah satu dari sekian risiko yang Dimas mesti terima. Tapi, Dimas tidak peduli. Ia langsung mematikan panggilan itu tanpa harus menunggu salam perpisahan dari Pak Beni.
“Ada apa, Dim?” Yanti mengambil tempat duduk tepat di samping Dimas yang berkali-kali tarik-buang napas di teras depan. Ia paham kalau anak laki-lakinya itu sedang menanggung beban yang cukup berat di pundaknya.
“Apa Dimas memang enggak cocok jadi jurnalis ya, Bu?”
“Kenapa mikir begitu?”
“Setiap kali Dimas kirim berita, hasilnya enggak pernah mulus. Sekalinya punya berita hebat, malah enggak bisa kirim.” Suara Dimas terdengar berat.
“Kamu ingat sudah berapa tahun nulis berita?”
“Tiga tahun, Bu.”
“Itu baru sebentar, Nak. Ibarat kendi, kamu itu masih tanah liat yang lagi dipilin dan dibakar. Kalau kamu nyerah sekarang, kamu cuma akan jadi tanah liat. Memangnya kamu mau?”
Dimas menggeleng pelan.
“Sekarang, apa yang mau kamu lakuin?” tanya Yanti, menelisik rencana-rencana Dimas berikutnya.
“Tidur. Kayaknya Dimas benar-benar butuh istirahat, Bu.”
Yanti menggeleng-geleng, tak menduga dengan jawaban yang diberikan Dimas. “Ya sudah, sekarang kamu istirahat sana.”
Dimas lalu bangkit dari duduknya. Sebelum beranjak, ia berbalik ke arah Yanti sambil tersenyum lebar. “Dimas janji, Bu, Dimas enggak akan nyerah. Dimas akan terus cari berita yang bakal jadi buah bibir di mana-mana. Tapi … Dimas harus lakuin satu hal dulu. Satu hal yang penting.”
Dimas masuk ke kamarnya dengan harapan yang jauh lebih besar. Di pintu masuk, ia berpapasan dengan Handoko yang langsung menyambutnya dengan tatapan cukup tajam. Tatapan lelaki paruh baya itu memang tidak pernah lagi sama semenjak Dimas membawa Li Mei ke rumahnya saban hari. Namun, Dimas enggan ambil pusing. Bukan Dimas tak peduli, tapi berurusan dengan bapaknya memang tidak akan pernah usai. Dimas menundukkan wajahnya, lalu berlalu masuk.
***
Hari beranjak gelap. Dimas segera ke kosan baru Li Mei. Setelah kemarin malam terpaksa dirawat inap di sebuah klinik, pagi tadi perempuan itu sudah diperbolehkan pulang. Setelah berpikir matang-matang, Dimas memutuskan untuk menempatkan Li Mei di kosan baru. Semenjak kejadian kemarin, Dimas menjadi tak enak pada perempuan yang telah menjadi sahabatnya itu bertahun-tahun. Dimas pun memutuskan untuk menyewakan Li Mei sebuah kosan sederhana dengan uang tabungannya yang tak seberapa.
Dimas memarkirkan motornya di depan sebuah gerbang kosan yang bertuliskan ‘Kost Putri’ di salah satu temboknya. Ia turun dari motor dan meminta satpam jaga untuk mengabari Li Mei soal kedatanganya. Sebab, laki-laki memang tak diperbolehkan masuk sehingga Dimas hanya bisa menunggu di depan pagar. Selang beberapa menit, Li Mei akhirnya keluar dengan riasan lembut di wajah. Melihat penampilan Li Mei, Dimas tak pernah tahu kalau ada sesuatu yang diam-diam mendebarkan hatinya.