14 Mei 1998.
Handoko tidak pernah tahu kalau mulai hari ini hidupnya akan berubah. Semua bermula ketika seluruh buruh garmen di tempatnya bekerja tiba-tiba saja dipulangkan lebih awal. Menurut informasi yang beredar, semua sesuai instruksi si pemilik pabrik yang sedang dalam perjalanan ke Singapura. Pabrik garmen akan diliburkan untuk sementara waktu, katanya. Belum ada kepastian kapan pabrik akan kembali dibuka.
Handoko kira hanya pabriknya saja yang demikian. Nyatanya, begitu keluar dari gerbang, beberapa pabrik lainnya juga melakukan hal yang sama. Membuat Handoko dan para buruh semakin kebingungan.
“Kalau begini, mau dikasih makan apa anak istri kita di rumah,” keluh seorang buruh yang duduk di sebelah Handoko dalam angkot.
“Bener. Mana harga barang-barang makin mahal,” sambung yang lain.
Mulailah segala unek-unek di kepala para tulang punggung keluarga mencuat. Keresahan demi keresahan diutarakan dengan perasaan was-was. Mereka tahu kondisi ibukota saat ini sedang tidak baik-baik saja. Krisis moneter, ketimpangan sosial, sulitnya mencari pundi-pundi rupiah semakin menambah goyah perekonomian negara.
Belum juga sampai di tujuan, kendaraan umum yang mereka tumpangi tiba-tiba saja diberhentikan oleh sekelompok orang berwajah bengis. Mereka meneriakkan beragam hasutan yang tak begitu bisa Handoko dengar saking bising dan rusuhnya. Orang-orang itu membawa balok-balok kayu yang entah untuk apa. Mereka mulai memaksa para penumpang turun. Hingga ketika sudah berada di luar kendaraan, buruh pabrik garmen itu bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana situasi jalanan yang tidak kondusif.
Ratusan masyarakat turun ke jalan: menyuarakan keadilan terhadap hak asasi manusia, beberapa lainnya meneriakkan harga-harga sembako yang melambung tinggi, juga menuntut presiden lengser dari kursinya. Jumlah aparat yang tak sebanding dengan jumlah demonstran, membuat mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Terlebih, sejak adanya kejadian penembakan empat mahasiswa Trisakti dua hari sebelumnya, membuat aparat lebih waspada. Mereka tak ingin salah melangkah.
“Han, ayo ikutan ambil barang-barang!” teriak seorang rekan Handoko. “Mumpung gratis,” sambungnya sambil kegirangan.
Sepasang mata Handoko yang masih kebingungan, mengikuti ke mana langkah rekannya tadi bergerak. Rupanya, toko-toko di kanan kiri jalan sudah dalam keadaan porak-poranda. Orang-orang tak bertanggung jawab itu membobol serta menjarah barang-barang dari dalam toko: elektronik, hingga sembako seperti beras dan bahan-bahan makanan lainnya.
“Jarah toko-toko Cina!” Teriakan itu menggema di telinga Handoko. Sementara sepasang matanya terus memperhatikan orang-orang yang dengan bebasnya mengangkut barang-barang yang mereka mau.
Handoko dihadapkan pada pilihan sulit, apalagi ketika ia membayangkan betapa beratnya kehidupan ia dan keluarganya ke depan jika pabrik garmen tak kunjung buka. Itu artinya ia tidak akan mendapatkan upah, sementara harga barang pokok kian mencekik.
Mengabaikan nuraninya, Handoko ikut merangsek ke sebuah toko sembako yang berada di dekatnya. Ia pikir toko itu kosong tanpa pemilik sehingga orang-orang menjarah isinya. Tapi, dugaan lelaki itu kandas ketika seorang lelaki paruh baya bermata sipit sudah tergolek di lantai.
“Di mana putriku? Di mana?” ujar lelaki itu lemah dengan kepala bersimbah darah.
Handoko yang tengah mengangkat sekarung beras itu pun semakin terkejut ketika laki-laki Tionghoa tadi kini memegang pergelangan kaki Handoko yang gemetar.
“Tolong katakan di mana putriku,” ucap lelaki itu sekali lagi dengan suara yang tak kalah lirih, membuat tubuh Handoko terpaku.
Sialnya, seorang pemuda berkulit sawo matang tiba-tiba saja datang mendekat ke arah Handoko dan langsung menghantamkan sebatang pipa besi ke kepala si lelaki Tionghoa yang tak berdaya itu.
Tubuh Handoko kian gemetar parah. Ia jatuhkan sekarung beras di tangannya tepat di sebelah tubuh si pemilik toko yang sudah tidak lagi bergerak. Handoko tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, apakah memanggil pertolongan ataukah malah membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Dalam diam, buruh pabrik garmen itu terus memandangi wajah si lelaki Tionghoa. Wajah yang akan terus menghantui serta Handoko ingat seumur hidupnya!
Dari posisinya sekarang, Handoko tahu lelaki pemilik toko itu sudah tidak lagi bernapas.
***