"Anakmu itu bukan bocah biasa. Percayalah! Aku benar benar dapat melihatnya! Jaga dia baik-baik! Kelak kamu akan tau apa maksudku!" ujar Koh Ho Ming tanpa mengalihkan pandangan mata dari beberapa anak yang tengah asik bermain-main di halaman rumahnya yang cukup luas dengan dinaungi beberapa pohon jambu air dan mangga yang membuat halaman rumahnya terasa teduh.
Suasana teduh itulah yang membuat anak-anak seringkali bermain-main disana. Tapi tatapan mata Koh Ho Ming tak pernah lepas dari sosok gadis kecil berwajah manis dengan rambut panjangnya yang dikepang dua, dengan hiasan pita berwarna kuning cerah, yang tengah berlarian dan sesekali dengan lincah menghindari sergapan teman mainnya.
Beberapa kali kekehan tawa rendah lolos dari bibir keriputnya yang dinaungi kumis lebat yang telah memutih itu. Sementara Sardi, ayah Diandra gadis kecil yang sedari tadi menjadi pusat perhatian Koh Ho Ming majikan istrinya itu cuma mengangguk mengiyakan. Padahal dia sendiri tak tahu arti perkataan China tua yang tengah duduk di depannya itu.
Dalam hati, ia cukup mengiyakan dan manggut-manggut supaya majikan istrinya itu merasa senang, yang tentu saja akan memudahkan segala urusan yang berhubungan dengan Koh Ho Ming. Sesekali tangannya menjangkau bakpia dalam toples yang tadi disuguhkan Cik Melly, istri Koh Ho Ming sebelum berangkat ke toko kelontong dimana istrinya Halimah bekerja sebagai pramuniaga di sana.
Pandangan mata Koh Ho Ming kembali terpusat pada papan catur di depannya dan mulai melanjutkan permainannya. Sementara Sardi memperhatikan arah langkah anak catur yang di gerakkan Koh Ho Ming dengan serius sambil berpikir akan langkah selanjutnya. Untungnya ia cukup bisa mengimbangi permainan catur majikan istrinya itu, yang tentu saja akan menambahkan nilai baginya untuk lebih mendekatkan diri pada orang yang terbilang cukup kaya di daerah tempat tinggalnya itu.
Bukan tanpa alasan jika ia berusaha mendekati Koh Ho Ming, sudah hampir empat bulan ia nganggur tanpa pekerjaan. Ia berharap jika nantinya ia bisa mendapatkan pekerjaan sebagai sopir pada perusahaan jasa angkutan yang dikelola Andreas, putra sulung Koh Ho Ming. Atau bekerja sebagai sopir pribadi Benny putra kedua Koh Ho Ming yang memiliki usaha penginapan di kota Malang.
Koh Ho Ming sudah berjanji akan membujuk salah satu anaknya untuk menerima Sardi bekerja. Ia hanya menunggu jika sewaktu-waktu salah satu dari mereka pulang menjenguk orang tuanya yang kini hanya tinggal berdua di rumah besar bergaya kolonial itu ditemani seorang ART saja. Sebenarnya Sardi merasa kurang puas dengan jawaban Koh Ho Ming itu, tapi ya mau gimana lagi posisinya bukan berada pada yang dibutuhkan. Tapi justru yang sedang membutuhkan.
Ditengah permainan, tiba-tiba terdengar jerit kesakitan seorang anak yang tadi tengah asik berlarian bermain-main di halaman.
Tergopoh-gopoh Sardi berdiri dan beranjak ke tempat dimana terlihat seorang anak lelaki telah jatuh telentang di tanah dengan tubuh Diandra berada diatas perut anak lelaki itu dengan pandangan murka. Sebelah tangannya merenggut keras rambut jambul lawannya sementara sebelahnya lagi telah mengepal siap untuk dihantamkan di wajah anak lelaki yang tengah didudukinya itu. Sementara anak-anak yang lain segera minggir dengan wajah ketakutan.
"Dian! HENTIKAN!!" Sardi buru-buru mengangkat tubuh mungil putrinya dari atas tubuh lawannya. "Apa yang kamu lakukan!" gemas dibawanya Diandra menjauh.
"Dia yang mulai Yah, dia jegal kakiku ... Lihat lutut ku berdarah karena jatuh gara-gara dia!" geram Diandra menunjuk lawannya yang tengah berusaha untuk berdiri lalu lari terbirit-birit ketakutan.
"Ayah sudah bilang, kamu itu perempuan! Jangan bertingkah kasar! Memangnya siapa yang ngajarin kamu bertingkah seperti tadi, Hah!" jengkel dijewernya telinga Diandra yang justru melotot marah padanya. "Ayo kita pulang!" ujar Sardi seraya menyeret tubuh kecil Diandra menuju rumah petak yang terletak tak jauh dari rumah Koh Ho Ming.
"Saya pulang dulu Koh! Maaf nanti kita lanjutkan permainan kita." pamitnya yang dijawab dengan anggukan kepala.
"Jangan lupa dengan apa yang ku katakan tadi, Sardi!" serunya ditengah-tengah kekehan tawa.
Gadis kecil yang istimewa. Batinnya sambil membereskan papan catur yang baru berjalan setengah mainan itu.
***
Jelang jam tiga sore, Koh Ho Ming menggantikan tugas istrinya di toko kelontong miliknya yang berada di pinggir jalan raya depan gang rumahnya. Sepintas dilihatnya, Halimah sedang menata beberapa barang dagangan di dalam stockist sekaligus menulis pembukuannya. Halimah termasuk salah satu dari tiga orang pegawainya yang terpercaya.