"Kok sudah pulang, Din? Bareng siapa tadi?" sambut Halimah tergopoh-gopoh keluar menyambut kedatangan Diandra. Setelah mengulurkan tangan untuk salim, Halimah segera membantu melepaskan tas sekolah dari punggung Diandra.
"Tadi gak ada pelajaran, sebagian guru lagi ada rapat di dinas. Terus si Lely, ketua kelas Dian lagi ulang tahun. Teman-teman sekelas dibagi nasi bakar sama dia. Tadi pulangnya, karena jalannya searah, Lely ngajak bareng sekalian, daripada jalan kan capek. Eh karena tadi dikelas ada yang gak masuk nasi bakar bagiannya dikasihin lagi ke Dian ... hehe jadi Dian dapat dobel." celoteh Diandra sambil berjalan masuk ke toko dan langsung menuju meja kasir.
"Sudah pulang sekolahnya, Din?" sapa Cik Melly sambil menyerahkan kursi plastik kecil ketika Diandra sudah mendekat.
"Hari ini ada rapat guru Cik Melly." jawabnya sambil meletakkan kursi plastiknya di sudut tak jauh dari meja kasir.
Cik Melly sudah terbiasa melihat Diandra sering berada di tokonya akhir-akhir ini. Ia tidak merasa keberatan, karena suaminya terlihat sangat menyayangi bocah perempuan itu. Mungkin karena belum memiliki anak ataupun cucu perempuan yang membuat suaminya itu terlihat begitu akrab dan sayang pada Diandra.
Dua anaknya laki-laki dan sudah berkeluarga kedua-duanya. Andreas putra sulungnya yang menikahi Liana teman kuliahnya dulu baru memiliki satu orang anak laki-laki yang berusia tiga tahun.
Sementara Benny putra keduanya baru beberapa bulan berumah tangga, dan sampai sekarang Fellicia istrinya belum hamil juga. Dan kedua putranya itu memilih tinggal di luar kota dimana tempat usaha mereka didirikan meskipun jarak tempat tinggal kedua putranya tak terlalu jauh, sekitar dua sampai tiga jam perjalanan, tapi mereka hanya datang sesekali setiap tahunnya. Hanya saat ada acara-acara keluarga saja mereka datang untuk berkumpul di kediaman Koh Ho Ming.
"Apa nanti Koh Ho Ming akan kesini?" tanya Diandra setelah dilihatnya Cik Melly selesai melayani beberapa pembeli yang tadi mengantri untuk membayar belanjaan mereka.
"Tentu saja, ia akan datang setelah jam dua belas."
"Hmmm ... baiklah, semoga nasi bakarnya masih enak meskipun sudah gak hangat." gumamnya sambil melirik jam dinding yang baru menunjukkan jam sebelas kurang. Tapi gadis kecil itu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya, sebentar-sebentar ia melongokkan kepalanya ke arah jalan raya. Kepangan rambutnya pun ikut bergoyang -goyang resah.
Cik Melly hanya tersenyum tipis melihat tingkah polah gadis cilik didekatnya itu. "Kenapa memangnya?"
"Aku tak sabar ingin memberi hadiah pada Koh Ho Ming." jawab Diandra polos.
"Oh ya? Kenapa memberi hadiah segala? Dia kan tidak lagi ulang tahun?"
"Yaa ... gak papa, aku cuma pengen kasih hadiah kok." kembali kepala mungilnya melongok ke jalan setelah melirik jam dinding lagi. Cik Melly cuma tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Senyap beberapa saat, saat Cik Melly kembali melayani pembeli.
Terlihat Halimah membuntuti pembeli itu sambil meletakkan keranjang berisi belanjaan si pembeli, memindahkannya ke dalam tas plastik setelah dihitung jumlah total harganya oleh Cik Melly. Selesai mengepak dan menyerahkannya pada pembeli, Halimah segera bangkit dan mendekati pembeli lain yang baru datang untuk dilayani.
"Seharusnya meja kasir ini dipindahkan dekat pintu luar." gumam Diandra pelan, tapi gumamnya masih dapat didengarkan Cik Melly.
"Kenapa?" tanya Cik Melly sambil lalu karena tangannya masih sibuk menghitung, memisahkan dan menata lembaran uang kertas sesuai nominalnya.
"Ya biar mereka yang sudah selesai belanja bisa langsung keluar dari toko tanpa berdesakan dengan pembeli yang baru datang." jawaban Diandra yang polos ternyata menarik perhatian Cik Melly.
"Hmmmm .." pandangan mata Cik Melly tertuju pada beberapa pelanggan yang baru dan sudah selesai berbelanja. Mereka terlihat agak berdesakan di lorong sempit sementara ditempat yang sama ia melihat Yanti sedang berdiri diatas kursi plastik untuk melayani pembeli yang membutuhkan barang yang kebetulan ditata di atas etalase setinggi dua meter di sepanjang lorong itu.
"Kenapa mainan itu ditaruh di atas meja? Sayang sekali kalau sampai jatuh. Pasti hancur!" Diandra menunjuk Maneki Neko, patung kucing dari keramik yang disepuh warna emas dan merah. Patung kucing itu dipasangi per di bagian dalam tangannya sehingga dapat bergerak-gerak seolah tengah melambaikan tangannya.
"Ini bukan mainan biasa." jawab Cik Melly seraya mengelus patung kucing di depannya. " Ini adalah Maneki Neko warisan orang tuaku. Ini jimat untuk toko ini." lanjutnya lagi seraya tersenyum lembut ke arah Diandra.
"Jimat??"
"Iya ... Jimat untuk menarik pembeli! Lihatlah, tangannya selalu melambai, dia sedang mengundang pembeli untuk belanja di sini." bisik Cik Melly pelan di telinga Diandra setelah dilihatnya ada pembeli yang mulai berjalan kearahnya untuk membayar belanjaannya yang kini ditenteng Yanti.
"Kalau jimat kucing itu diletakkan di depan, pasti akan lebih banyak orang yang dia undang. Di Jalan depan kan lebih ramai, banyak orang dan mobil yang lewat." gumam Diandra pelan dengan mata menerawang ketika pembeli sudah selesai membayar belanjaannya dan mulai berjalan keluar toko.