Seorang pemuda bertubuh jangkung melambaikan tangan dengan semangat ketika Tantri membuka pintu toko yang langsung menyambutnya dengan aroma lezat perpaduan antara moka dan vanila. Pemuda itu melompat-lompat seperti kelinci setiap kali melihat Tantri. Kausnya yang bergambar Superman berlumuran cat berwarna hijau dan kuning.
“K-kak, a-ku sud-dah selesai melu-kis din-dingnya di-di-bela-kang sa-na,” gagap Atma tersenyum. “K-kak Tantri ha-rus li-hat.” Atma menarik tangan Tantri ke sebuah dinding di sebelah toilet. Di sana Atma sudah melukis mural bergambar Superman yang sedang terbang dengan hiasan sulur tanaman rambat yang ditumbuhi bunga beraneka warna. Cahaya lampu bahkan membuat mural itu terlihat lebih indah bila dilihat dalam suasana malam seperti ini.
“Ba-gus, kan, Ka-kak?”
“Bagus banget,” puji Tantri mengelus kepala Atma. “Kamu memang hebat, Atma. Apalagi Superman itu sangat indah. Makasih, ya.”
Atma tersenyum seraya bertepuk tangan seperti anak kecil. Atma memang berbeda dengan pemuda seusianya, walau usianya sekarang sudah menginjak dua puluh dua tahun, Atma masih sering bertingkah seperti anak kecil karena kelainan autisme yang dideritanya.
“Sebagai hadiah karena telah melukis dinding itu, kakak mau ngasih kue yang sangat enak.”
Atma kembali bertepuk tangan. Mereka duduk di bangku yang menjadi favorit Atma. Tantri sengaja membuat kue bolu dengan icing bergambar Superman karena tahu Atma sangat menyukai superhero itu. Di dalam kamar Atma dipenuhi gambar Superman, mulai dari hiasan dinding, seprei, sarung bantal hingga beberapa mainan. Atma bilang dia menyukai Superman karena pahlawan itu melawan para penjahat yang suka berbuat onar.
“Kakak tinggal sebentar, ya,” ucap Tantri saat Atma asyik menikmati kue bolu dengan segelas susu cokelat panas. “Nanti kita pulang bareng.”
Atma mengangguk saat pintu bakery kembali terbuka. Lonceng yang ada di atas pintu bergemerincing merdu ketika seorang lelaki bertubuh jangkung seperti raksasa masuk ke toko. Wajah lelaki itu sangat tampan sampai membuat beberapa karyawan perempuan terkagum-kagum saat lelaki itu menghampiri etalase untuk memilih kue.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Tantri ramah.
Pemuda beraroma lavendel itu menunjuk beberapa kue mulai dari cupcake, kue bolu, brownise, muffin, dan beberapa biskuit dengan beraneka toping. Setelah membeli semua pesanannya, pemuda itu menghampiri kasir untuk membayar.
“Mau debit atau tunai?” tanya sang kasir yang bernama Winda dengan tangan gemetar.
“Tunai saja,” jawab pemuda itu tersenyum membuat Winda semakin grogi. Tantri yang melihat ekspresi Winda hanya terkekeh. Tantri sudah tahu betul Winda paling lemah kalau menghadapi pelanggan tampan.
Pemuda itu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada Winda yang tangannya semakin tremor ketika tanpa sengaja kulit mereka bersentuhan. Beberapa baker yang melihat itu hanya terkekeh melihat Winda yang salah tingkah.
“Terima kasih, semoga suka dan datang kembali,” ucap Winda saat menyerahkan uang kembalian.
Tawa karyawan lain langsung meledak saat Winda terduduk begitu pemuda tampan itu keluar dari toko. Sinta tak henti-hentinya memegang perut karena tertawa melihat ekspresi Winda. Begitu juga dua orang baker dan asisten chef yang bernama Bening, mereka menggelengkan kepala melihat kelakuan Winda.
“Ganteng banget sumpah,” ucap Winda memegang dada yang masih berdebar kencang. “Lihat, nih, tanganku masih gemeteran.”