PEREMPUAN PALING BAHAGIA

Ragiel JP
Chapter #4

GADIS KUE DAN SAUDARANYA

Kerlip cahaya kota Yogyakarta yang terbias dari kaca jendela terlihat seperti pemandangan dari lensa kaleidoskop. Penuh warna, seperti taburan meses di atas roti yang mengepul. Tantri membuka jendela kamar di lantai dua, membiarkan angin malam mengelus wajah yang memandang lurus ke pemandangan kota yang sangat indah.

Perempuan berambut sebahu itu mencoba mengosongkan pikiran sesaat dari keriuhan dalam kepala. Rencana balas dendam yang digagas Sonya terus meledak-ledak seperti kembang api. Dia kembali merenung sesaat, apakah tindakan yang dilakukannya kali ini benar? Haruskah menghancurkan seseorang yang bahkan dirinya tidak mengenalnya?

Wajah Sonya yang rapuh kembali terbayang dalam ingatan. Mereka sudah bersahabat sejak SMA dan baru sekarang melihat Sonya begitu hancur karena lelaki. Padahal biasanya selalu baik-baik saja, lalu Sonya akan berkencan dengan lelaki lain seminggu kemudian. Radarnya dalam menemukan lelaki tampan sudah patut diacungi jempol. Namun, kenapa hanya karena seorang lelaki bernama Nolan mampu mengubah kepribadian Sonya menjadi serapuh lapisan wafer?

Tantri kembali menggesekkan telapak tangan untuk menciptakan panas, lalu dia menempelkan di kedua pipi. Dia berpaling ke arah jam digital yang menyala di dalam kamar. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan rasa kantuk itu belum juga datang. Padahal tadi saat menutup toko roti pukul sembilan malam, kakinya pegal bukan main karena terlalu banyak mondar-mandir mengurusi dan menemui beberapa klien yang menanyakan tentang dekorasi pernikahan.

Selain membuat roti, satu hal yang disukai Tantri adalah membantu orang lain dalam menciptakan impian pesta pernikahan. Awalnya sempat menolak ketika Regina merekrutnya menjadi asisten, dia takut tidak bisa fokus dan kelelahan merangkap dua pekerjaan. Namun, Regina terus meyakinkan kalau menjadi asisten Wedding Organizer tidak sesibuk yang dibayangkan.

Di bulan pertama awalnya Tantri merasa berat karena harus membagi waktu antara toko roti dan Wedding Organizer. Namun, seiring berjalannya waktu, dia malah jadi jatuh cinta dengan dunia Wedding Organizer dan dengan senang hati mengurusnya jika Regina sedang mengunjungi keluarga di London.

“Kamu sendiri kapan nyusul, Tri?” pertanyaan Regina kembali terngiang. "Usiamu sudah dua puluh sembilan tahun dan sudah saatnya menikah.”

“Aku belum siap, Na,” jawab Tantri selalu tidak nyaman membahas tentang pernikahan. “Kamu tahu sendiri apa alasannya. Aku nggak mungkin ninggalin Atma sendirian. Sejak kawin lagi sama duda di Bogor, ibuku jadi jarang nengokin kami dan cuma datang sebulan dua kali kalau kehabisan uang.”

Regina menepuk-nepuk bahu Tantri. Dia menyadari kesalahannya, tidak seharusnya membahas ini mengingat masa lalu Tantri yang buruk. Pasti berat bagi Tantri untuk memulai kehidupan rumah tangga, luka batin yang ditinggalkan Ayah dan ibunya masih tersimpan di benak Tantri dan Atma.

“Lagian aku heran sama orang Indonesia, emangnya aneh, ya, kalau sudah berusia dua puluh sembilan tahun dan belum menikah. Padahal dua puluh sembilan tahu masih muda, kan, Na?”

Regina meletakkan kedua tangan di dagu—seolah-olah sedang berpikir memecahkan kasus yang sangat sulit. “Menurutku dua puluh sembilan tahun itu bisa mempunyai dua makna tergantung dari perspektif mana dilihat.”

Tantri mengerutkan kening. “Nggak paham aku.”

“Tinggal kita melihatnya dari sudut pandang sesudah atau sebelum,” Regina nyengir lebar sekali.

Tantri mengerucutkan bibir. “Sudahlah jelasin saja apa maksudnya. Menurutmu usia dua puluh sembilan tahu itu tua atau muda?”

“Kan, kusudah jawab tadi, tergantung sudut pandang mana yang lo pakai. Sesudah atau sebelum. Kalau seseorang sudah meninggal di usia dua puluh sembilan tahun, pasti mereka akan bilang ‘sayang banget, ya, padahal masih muda.’ Sedangkan kalau di usia dua puluh sembilan tahun belum menikah, mereka pasti mengatakan kalau kita sudah jadi perawan tua.”

Mau tak mau Tantri terbahak. “Sialan kamu, Bangke.”

Regina ikut tertawa mendengar leluconnya sendiri. Tumbuh bersama sejak kecil membuat mereka saling mengerti satu sama lain. Oma Ratna memang berhasil mendidik kedua perempuan itu menjadi pribadi yang tangguh.

“Ngomong-ngomong hubunganmu sama Julian gimana?” tanya Regina setelah tawa mereka reda. “Kalian masih berhubungan, kan?”

Lihat selengkapnya