Tantri mengantur napas begitu turun dari mobil. Bayang-bayang Nolan terus menari-nari di dalam kepala. Mengejeknya, dan yang paling membuat dia tidak bisa memaafkan lelaki bermata kelabu adalah penghinaan akan pekerjaanya. Selama ini banyak yang memuji dia sebagai perempuan yang hebat. Beragam komentar positif selalu didapatkan dari klien yang ditangani. Tapi tidak dengan Nolan, dia lelaki paling sok dan menyebalkan yang pernah Tantri temui.
Bunyi lonceng bergemerincing ketika Tantri membuka pintu Kalyana Bakery dengan ekspresi seolah-olah mengeluarkan api. Para karyawan memandang Tantri dengan tatapan heran karena tidak biasanya datang ke toko dengan ekspresi seperti itu.
“Ada apa, Chef?” tanya Bening menghampiri Tantri. “Ada ada masalah?”
Aroma harum adonan kue yang tengah dipanggang mengurangi amarah di dada Tantri. Seperti dongeng dari Prancis tentang kue madeleine yang mampu menghapus kenangan buruk setiap orang yang memakannya.
“Nggak ada apa-apa,” jawabnya. “Bisa buatkan latte dingin dan antar ke ruanganku.”
Bening mengangguk.
“Dia kenapa?” tanya Sinta penasaran. “Nggak biasanya Chef Tantri begitu.”
“Mana kutahu,” jawab Bening mengambil beberapa es batu dari dalam kulkas. “Tolong antarkan latte ini ke ruangan Tantri.”
Sinta mengangguk. Dia menerima minuman itu, lalu menghampiri ruangan Tantri. Sinta mengentuk pintu yang terbuat dari kaca dan masuk ketika Tantri mempersilakannya.
“Ada apa, Chef?” tanya Sinta meletakkan minuman. “Ada ada masalah?”
“Nggak ada apa-apa, Sin,” Tantri menyeruput minuman dingin dan manis yang langsung membasuh amarah. “Bagaimana tanggapan pelanggan dengan menu baru itu, apa mereka menyukainya?”
“Mereka menyukainya,” Sinta tersenyum. “Tadi sempat kehabisan, tapi Chef Bening lagi buat adonannya lagi.”
Tantri tersenyum senang. Luapan rasa sayang terhadap adiknya yang menjadi tester kue tidak diragukan lagi. Lidah Atma lebih sensitif dalam menentukan rasa yang bisa menyentuh psikologi pelanggan.
Sinta kemudian keluar dari ruangan ketika pelanggan datang semakin banyak. Tantri kembali menyeruput minuman ketika bayangan Nolan kembali berkelebat di dalam kepala. Dia tidak tahu kenapa begitu sebal bertemu dengan Nolan, padahal sudah sering bertemu pelanggan yang menyebalkan, tapi belum pernah dia semarah ini.
“Siapa juga yang butuh klien seperti Nolan,” dengkus Tantri beranjak dari kursi. Dia kemudian memakai chef jaket kebanggannya. Menguleni tepung menjadi semacam pelampiasan untuk meredakan amarah. “Kalau bukan karena Sonya, aku juga nggak mau berurusan sama cowok berengsek itu.”
Tantri kembali merasa tidak habis pikir kenapa Sonya bisa tergoda dengan lelaki frontal seperti Nolan. Kalau pun hanya ada dua orang di dunia ini yang tersisa karena wabah zombi, Tantri lebih memilih berhubungan dengan zombi dari pada harus menjalin hubungan dengan Nolan.
Tantri menyambar tas dan mengaduk-aduk isinya. Setelah menemukan ponsel, dia segera menghubungi Sonya, tapi tidak ada jawaban.
“Sial!” Tantri mendebas lagi, situasi hatinya sedang buruk. Tantri sudah bersiap ke dapur sebelum ponselnya kembali berdering dan melihat nama Regina terpampang di layar.
“Ada apa tadi telepon, Tri?” suara Regina terdengar mengantuk.
“Susah banget tadi dihubungi,” gerutu Tantri.
“Lagian telpon jam segini, aku masih tidur.”
“Bodo amat,” ucap Tantri lagi. “Tadi aku ketemu sama Renata dan Nolan.”
“Terus?”
Tantri kemudian menceritakan semuanya. Perihal menawarkan jasa, hingga tuduhan Nolan yang mengatakan seorang penipu.
“Gimana nggak emosi, seumur-umur baru kali ini ada yang bilang aku penipu. Ditambah lagi kamu nggak bisa dihubungi, makin menjadi lah si Nolan berengsek itu.”
Regina terbahak di ujung telepon. “Lagian kamu nekat, sih. Kan, kubilang kita nggak biasa menawarkan jasa ke klien baru, biasanya mereka yang mendatangi kita langsung. Tentu wajar kalau Nolan ngira kamu penipu.”
“Sialan, bukannya menghibur malah ngece.”
“Tenang saja, kuyakin mereka bakal pakai jasa kita kok.”
“Nggak yakin,” wajah congkak Nolan kembali berkelebat di ingatan Tantri. “Sumpah, ya, baru kali ini ketemu cowok sok dan belagu seperti dia.”
“Sok dan belagu itu sama saja, Tantri.”
Tantri memutar bola mata. “Udah dulu, ya, mau buat kue buat nenangin diri. Kukabari lagi kelanjutannya apa mereka mau pakai jasa kita atau nggak.”
“Mereka pasti akan pakai jasa All About Regina. Ini buktinya Ruben telepon. Udah dulu, ya, bye …”
***
Regina mengangkat panggilan dari Ruben. Regina yakin ada sesuatu yang penting sampai Ruben meneleponnya pagi-pagi seperti ini. Perbedaan waktu yang selisih hanya kurang lebih empat jam antara Dubai dan London, membuat Regina memabayangkan kemungkinan Ruben sedang sarapan bersama istrinya.
“Halo, Regina …” sapa Ruben di ujung telepon.
“Iya, ini aku,” jawab Regina mengantuk. “Ada apa?”
“Aku mau tanya sesuatu?”
“Tanya saja.”
“Kamu kenal Nolan?” tanya Ruben lagi. “Nolan Mahendra Wijaya.”