Nolan sama sekali tidak menjawab pertanyaan Tantri bagaimana bisa mengenal Atma. Sejauh pengetahuannnya Atma tidak mudah bergaul dengan orang yang tidak dikenal.
Nolan kembali mengantar Tantri ke toko setengah jam kemudian. Tantri cukup terkejut dengan cara Nolan menyetir, sangat tidak cocok dengan stereotip orang kaya yang cenderung menyetir dengan gaya pamer. Tapi Nolan mengendarai dengan aman, tidak ada raungan gas ataupun deritan rem, sehingga membuat Tantri merasa nyaman dan aman.
“Terima kasih atas tumpangannya,” ujar Tantri saat tiba di depan Kalyana Bakery. “Terima kasih juga karena telah memercayakan pesta pernikahan Renata kepada kami.”
Nolan mengangguk pelan, lalu beberapa detik kemudian kembali melajukan mobil dan menghilang ketika berbelok di tikungan.
Jantung Tantri berdebar aneh ketika berpisah dengan lelaki bermata kelabu itu. Rasanya sudah sangat lama tidak merasakan perasaan berdebar seperti ini.
Sinta dan Bening tersenyum meledek saat Tantri membuka pintu toko. Semua karyawan memandangnya dengan tatapan penasaran. Karena selama hampir lima tahun bekerja, baru kali ini melihat Tantri pergi dengan seorang lelaki.
“Siapa tadi itu, Chef?” tanya Sinta tanpa basa-basi. “Pacarnya, ya?”
“Sembarangan.” Tantri kembali masuk ke ruang kerja untuk mengambil jaket chef kebanggan, dan semenit kemudian kembali bergabung bersama Bening untuk membuat adonan kue kering.
“Jadi siapa cowok tadi, Chef?” ulang Sinta saat seorang pelanggan menghampiri etalase dan memesan setoples kecil gula-gula beraneka warna. “Soalnya baru lihat dia datang ke Kalyana Bakery.”
“Namanya Nolan,” jawab Tantri memotong apel hijau dan menyerahkan kepada Bening untuk isian pai. “Dia adiknya Renata yang memesan kue untuk pesta pernikahan.”
“Renata?”
“Pelanggan yang kemarin datang ke sini, Sinta.”
“Ah, saya inget,” celetuk Winda ikut nimbrung. “Perempuan cantik yang kemarin datang itu, ya. Buset, satu keluarga isinya visual semua, kakak perempuannya cantik, adik cowoknya ganteng banget.”
Bening terbatuk mendengar ucapan Winda.
Tantri jadi teringat sesuatu. “Apa kamu tahu siapa calon suaminya Renata, Win?”
Winda mengerutkan kening. “Mana saya tahu.”
“Cowok yang kemarin lusa datang ke sini, yang kata kalian seperti malaikat dari Bantul.”
Winda melongo. “Astaga, cowok yang ganteng itu, ya. Duh, remuk hati saya dengernya.”
“Kamu jadian saja sama Herman, Win,” ledek Ilyas yang baru mengeluarkan kukis dari dalam oven. “Kalian cocok, kok.”
“Sialan,” balas Herman mengambil sudip dan menyodok pinggang Ilyas. “Aku udah punya cewek, ya. Aku tuh cowok setia.”
“Setiap tikungan ada kali,” imbuh salah satu pramusaji.
“Hei, Beb …” Winda pura-pura mengerling ke arah Herman. “Godain kita dong.”
Herman hanya menyeringai ngeri, lalu bergegas kembali memasukkan adonan kue ke oven.
Tantri tersenyum melihat keakraban di dapur. Dia selalu suka suasana ceria di dapur seperti ini. Tantri memang pemimpin yang sangat disegaani karena tegas dan ceria.
Pukul sepuluh malam Kalyana Bakery tutup. Mereka semua membersihkan dapur dan menyimpan bahan makanan di pantri. Ilyas bertugas mengecek bahan-bahan apa saja yang habis, sedangkan Tantri sedang mencatat hasil penjualan hari ini di dalam ruang kerja.
Atma sudah terlelep di sofa saat Tantri selesai menyelesaikan pekerjaan. Bening dan Sinta berpamitan ketika mereka selesai membersihakan dapur. Sedangkan Ilyas dan Herman sedang membuang sampah.