Pukul satu siang Tantri dan Regina menunggu Nolan di kafe yang telah mereka sepakati. Sebenarnya Nolan mengajukan diri untuk menjememput mereka di Kalyana Bakery, tapi Tantri menolak karena tidak mau membuat karyawan semakin salah paham. Bisa berhari-hari mereka akan meledek jika tahu Nolan kembali menjemputnya.
Tantri kembali melirik jam di tangan kiri, merapikan penampilan lewat kaca yang ada di kafe itu, memastikan tidak ada kulit yang terbuka terlalu berlebihan.
“Santai, Tri,” Regina melirik Tantri yang gelisah. “Nggak biasanya kamu salting begitu. Apa jangan-jangan naksir Nolan, ya?”
“Nggak usah ngarang deh. Aku sebenarnya masih dongkol dituduh penipu, mana dia nggak minta maaf lagi.”
“Lagian Nolan udah ngasih pekerjaan itu untuk kita, jadi nggak ada alasan lagi gedek sama dia.”
“Nggak tahu juga kenapa bisa sesebal ini sama cowok itu.”
“Hati-hati kalau benci sama orang,” ledek Regina. “Nanti bisa-bisa malah jatuh cinta sama dia.”
“Amit-amit jatuh cinta sama cowok model Nolan,” balasnya. “Gini, ya, kalau misal besok ada invasi alien dan hanya ada aku sama Nolan di Bumi, kayaknya lebih milih ikut alien ke planet mereka saja.”
Regina terbahak. “Parah. Emang begitu menyebalkannya si Nolan itu, ya? Kudenger dari Ruben kalau dia lelaki yang sangat hebat.”
“Cowok paling bikin gedek yang pernah kutemui sejauh ini,” jawab Tantri lagi. “Sumpah, ya, dia itu songong banget jadi cowok. Ngerasa paling wah cuma karena ganteng doang.”
“Jadi Nolan ganteng?” Regina semakin senang meledek Tantri. “Wah, suka aku.”
“Kuakui dia emang ganteng.” Tantri jadi salah tingkah. “Tapi tetap saja seganteng apa pun itu kalau playboy, ya, percuma saja.”
“Tunggu dulu …” Regina menyipitkan mata. “Dari mana kamu tahu kalau Nolan itu playboy?”
Tantri membuka mulut, hampir saja keceplosan kalau mendengar soal Nolan dari Sonya. “Eh, itu, anu—“
“Kamu diam-diam nyelidiki dia?” Regina mencoba untuk tidak tertawa. “Kamu tahu nggak, Tri, Ruben bilang nggak biasanya kamu begini. Aku jadi curiga, sebenarnya udah lama kenal sama Nolan, atau jangan-jangan dia mantanmu, ya?”
“Sialan.” Tantri pura-pura tertawa. “Aku itu punya intuisi yang kuat, bisa tahu karakter seseorang hanya dengan sekali lihat. Melihat Nolan aku langsung yakin kalau dia playboy cap kutu kupret.”
Regina menggelengkan kepala mendengar ucapan Tantri. “Awas saja kalau nanti malah jadian sama Nolan. Kan, banyak pepatah lama yang mengatakan kalau cinta dan benci itu beda tipis.”
“Kebanyakan nonton drama Korea kamu, Reg.” Tantri memutar bola mata. “Aku sama sekali nggak percaya cerita begituan. Hidup nggak seindah cerita Cinderella dengan Ibu Peri yang mengabulkan semua keinginan kita.”
“Kamu salah, anggap saja kalau aku ini Ibu Peri yang cantik dan baik hati.”
Tantri kembali terkekeh. Dia selalu senang jika sudah beradu argumen dengan Regina. Tantri kembali mengaduk orange juicy sekali lagi, lalu meminumnya. Membayangkan bertemu Nolan kembali mengusik debar aneh. Sesuatu yang terasa purba kembali bangkit dan menyebar seperti virus. Perasaan yang sama persis saat bertemu Julian.
Tantri cepat-cepat menggelengkan kepala, berusaha menguatkan diri bahwa betapa pun memesona Nolan, dia tetaplah lelaki berengsek yang telah menyakiti sahabat baiknya, dan lelaki seperti itu harus diberi ganjaran.
“Kok malah ngalamun?” Regina menjetikkan jari ke wajah Tantri. “Sudah jangan terlalu grogi mau ketemu sama Nolan. Santai saja.”
Tantri pura-pura sibuk dengan ponsel begitu melihat Nolan keluar dari mobil volvo hitam yang terparkir di parkiran kafe.
“Itu si Nolan,” bisik Tantri menunjuk dengan dagu. “Yang pakai setelan warna biru laut.”
“Astaga, ganteng banget,” Regina langsung merapikan rambut. “Bagaimana penampilanku?”
“Sempurna.”
Aroma maskulin yang sudah familiar langsung menggelitik hidung Tantri begitu lelaki setinggi 185 cm itu menghampiri mereka dan langsung duduk di hadapan Tantri.
“Sudah menunggu lama?” tanya Nolan dengan suara riang. Mata kelabunya semakin terlihat menakjubkan dengan setelan yang dipakai.
“Kami juga baru sampai,” jawab Regina. “Oh, ya, mungkin kita belum sempat berkenalan. Aku Regina …” Regina mengulurkan tangan.
“Nolan.” Pemuda itu menyambut jabatan tangan Regina. “Aku sudah sering mendengar tentangmu. Ternyata memang cantik seperti yang Ruben katakan.”
Tantri bergidik dengan gombalan Nolan. Duplikat Cassanova itu tampaknya mulai menunjukan sifat aslinya.
“Ruben memang suka jujur kalau bicara, tapi terima kasih atas pujiannya. Aku memang menyadari kalau aku ini cantik.”