Setengah jam kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Rumah Nolan sangat megah dengan halaman yang luasnya berkali-kali lipat lapangan bola. Sebuah air mancur terletak di tengah halaman dengan taman bunga menghiasi sekeliling rumah bercat kuning gading. Beberapa gazebo berdiri di samping rumah yang membuat Tantri membayangkan betapa nyamannya minum teh sambil ditemani biskuit sembari menikmati cahaya sore matahari. Rumah Nolan seperti rumah idamannya untuk menghabiskan masa tua bersama keluarganya kelak.
“Ngapain aku mikir sampai ke sana?” bisik Tantri dalam hati. “Sadar, Tantri … Sadar.”
“Ada apa, Chef?” tanya Nolan yang melihat Tantri menggelengkan kepala seperti sedang mengusir lalat.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Tantri saat seorang sekuriti menutup gerbang rumah mewah itu.
Nolan hanya tersenyum saat mobil berhenti tepat di depan pintu masuk. “Ayo turun.”
Seorang sekuriti mengangguk sopan ketika Nolan turun dan menyerahkan kunci mobil kepadanya.
“Renata sudah pulang?”
“Sudah, Tuan,” jawab sekuriti tampak canggung. “Tadi Non Renata juga nyari Tuan Nolan.”
Tantri kembali terkejut dengan keramahan Nolan. Karena dalam bayangannya, lelaki itu pastilah tipikal orang yang suka merendahkan orang lain karena kaya. Namun, kenyataannya Nolan tidak seperti itu, Nolan benar-benar berbeda dari prasangkanya tentang gambaran orang kaya.
“Rileks, Chef,” Nolan melirik Tantri yang tampak tegang. “Aku nggak akan berbuat macam-macam.”
“Aku nggak berpikir seperti itu,” ucap Tantri berbohong. “Kamu hanya tinggal sama Renata?”
“Ada sepuluh asisten rumah tangga di sini. Renata nggak suka keheningan di rumah. Dia bilang hal yang lebih menyeramkan dari hantu adalah rasa kesepian, makanya Renata memperkerjakan banyak sekali asisten rumah tangga. Dia orangnya super bersih juga.”
Gambaran Renata sebagai seorang prefeksionis memang sangat cocok untuknya. “Orangtuamu nggak tinggal di sini?”
Wajah Nolan langsung berubah. Tantri paham kalau Nolan tidak mau membicarakan perihal orangtua. “Ayo masuk.”
Nolan membuka pintu rumah—pemandangan di dalam rumah tidak kalah menakjubkan dengan pemandangan di halaman. Kursi dan meja mahal menghiasi rumah, lengkap dengan guci-guci berkualitas impor di setiap sudutnya. Beberapa lemari kaca tampak menakjubkan dengan piala-piala kristal berkilau tertimpa cahaya matahari. Penerangan di rumah juga menakjubkan, desain rumah pasti juga ditangani seorang arsitektur berpengalaman. Sebuah piano yang dipelitur mengkilap berdiri di sebelah ruang keluarga. Di sisi lain juga ada rak-rak tinggi penuh buku dan majalah otomotif, dan beberapa majalah resep makanan yang membuat tangan Tantri gatel untuk membacanya.
“Rumah yang menakjubkan,” puji Tantri mendengar suara musik mengalun pelan.
Salah satu asisten rumah tangga berwajah ramah menghampiri mereka saat Nolan mempersilakan Tantri duduk di sofa yang terasa sangat empuk.
“Mau minum apa, Chef?” tanya Nolan sopan.
“Panggil saja Tantri,” Tantri lama-lama risih mendengar Nolan memanggilnya Chef.
Nolan kembali terkekeh. “Mau minum apa, Tantri?”
“Air putih saja.”
Asisten rumah tangga itu bergegas menuju dapur untuk menyiapkan minuman.
“Kupanggil Renata dulu, dia udah nggak sabar bertemu denganmu.”
Tantri mengangguk ketika Nolan berjalan menuju lantai dua. Dua menit kemudian asisten rumah tangga selesai membuat minuman dan menaruhnya di depan Tantri.
“Silakan …”
“Terima kasih.”
“Saya ngefens banget loh sama Chef Tantri,” ucap asisten itu malu-malu. “Saya pernah lihat Anda di majalah. Saya juga menyukai sama kue-kue di Kalyana Bakery, rasanya sangat enak.”