Kalyana Bakery selalu libur tiap Senin. Tantri biasanya menghabiskan waktu seharian di hari libur untuk mencoba membuat resep baru yang akan disajikan di toko, seharian menonton film atau drama Korea secara maraton. Tapi Senin ini entah kenapa begitu malas untuk beranjak dari tempat tidur. Dia melirik jam weker di atas meja yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi
Tantri merasa tulang-tulangnya ngilu karena tidur meringkuk seperti anak kucing. Semalam mimpi buruk itu hadir lagi, mimpi yang sudah lama dilupakan dan coba kubur dalam-dalam dalam ruangan ingatan terdalamnya.
Pintu kamar diketuk dari luar, lalu mendengar asisten rumah tangga memanggil namanya. Dengan malas Tantri menghampiri pintu untuk membukanya.
“Sarapan sudah siap, Tantri,” ucap Bi Sumi tersenyum. “Atma sudah menunggu di meja makan.” Wajah Bi Sumi langsung berubah canggung. “Sama, ada seseorang yang mencarimu.”
“Siapa, Bi?” Tantri mengernyitkan kening. “Aku nggak ada janji ketemu sama siapa pun hari ini.”
“Anu … Itu, sebaiknya kamu lihat saja sendiri, soalnya bibi nggak boleh bilang.”
Tantri jadi bertanya-tanya siapa yang datang ke sini pagi-pagi seperti ini. Setelah Bi Sumi pergi, dia masuk ke kamar untuk membasuh wajah. Setelah memastikan tidak ada kotoran yang tertinggal, Tantri turun dari kamar di lantai dua ke ruang makan untuk mengetahui siapa tamu misterius yang datang berkunjung sepagi ini.
Aroma rempah sudah tercium saat Tantri turun satu undakan dari lantai dua. Samar-samar telinganya menangkap suara perempuan yang seolah-olah membuat aliran darah berhenti. Tantri tahu betul siapa pemilik suara itu, dia jadi bertanya-tanya apa ini arti dari mimpi buruknya semalam?
Jantung bertalu-talu semakin kencang saat sampai di pertengahan tangga, lalu melihat perempuan itu sedang duduk bersebelahan dengan sang adik yang ekspresinya susah dijelaskan. Berbagai macam metafora terpampang jelas di wajah Atma saat perempuan itu meletakkan ayam goreng ke piring.
“Ibu …” ucap Tantri. “Ngapain ibu ke sini?”
“Tentu saja mau nengokin kalian.” Perempuan bernama Bu Irma tersenyum. “Kebetulan hari ini ayahmu lagi ada acara di Demangan, makanya ibu mampir sebentar.”
“Dia bukan ayahku, Bu,” timpal Tantri masam. “Kenapa ibu nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?”
“Ibu sudah mencoba meneleponmu, tapi nomormu nggak aktif, jadi terpaksa ibu datang ke sini karena takut terjadi sesuatu sama kalian.”
“Ibu nggak perlu mencemaskan kami, urus saja suami dan keluarga baru ibu.”
Bu Irma terpaku. “Kenapa ngomong begitu sama ibu, Nak?”
Tantri mundur selangkah. “Karena ibu nggak pantas disebut ibu. Ibu tega ninggalin kami sendirian.”
Bu Irma hanya terdiam. Tantri tidak bisa mengartikan ekspresi wajah ibunya. “Tantri, ibu datang ke sini sebenarnya mau ngomong sesuatu.”
“Berapa yang ibu mau minta?” Tantri semakin erat menggenggam tangan Atma. “Ibu ke sini mau uang, kan?”
Bu Irma menarik napas, lalu mengembuskan secara perlahan. “Ayahmu butuh modal untuk membuka bengkel motor, jadi—“
“Dia bukan ayahku!” sembur Tantri membuat Atma berjengit. “Bilang saja berapa yang ibu minta? Setelah itu ibu pergi dari sini.”
“Tantri …”
“Aku mohon ibu pergi dari sini.” Mata Tantri berkaca-kaca. “Aku lagi nggak mau melihat wajah ibu.”
“Sepuluh juta.” Bu Irma menatap kedua anaknya dengan ekspresi terluka. “Kirim ke nomor rekening yang biasa.”
Setelah berkata seperti itu Bu Irma bergegas keluar dari rumah.
Kaki Tantri terasa lemas saat ibunya keluar dari rumah. Bayang-bayang masa lalu kembali berputar, amarah yang selama ini dipendam karena ketidakpedulian ibunya seolah-olah menjema menjadi makhluk api yang membakar dari dalam. Sampai kapan pun dia tidak memaafkan ibunya.
“Ka-kak …” Atma menyentuh bahu Tantri. “Ka-kak nggak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja,” ucap Tantri mencoba bangkit. “Kamu sarapan saja dulu, kakak mau mandi.”