Nolan mengetuk-ngetukkan jari di atas meja kerja dengan perasaan jungkir balik sejak bertemu Tantri. Sikap Tantri yang dingin dan susah ditebak membuat Nolan bertanya-tanya kenapa pesona yang dimilikinya seolah-olah tidak berpengaruh? Padahal selama ini perempuan yang berdiri di hadapannya selama sepuluh detik biasanya langsung tunduk seperti anak kucing.
Setelah selalu menghindari kejaran perempuan yang tergila-gila dengannya, rasanya menyenangkan sekaligus menantang begitu mengetahui ada lawan jenis yang tidak menunjukkan sikap tertarik dengan pesona yang dimilikinya.
“Ini nggak bisa dibiarkan,” bisik Nolan memandang foto Tantri di profil whatsapp. “Harus mencari tahu kenapa Tantri nggak tertarik padaku.”
Nolan ragu untuk menghubungi Tantri. “Bisa-bisa nanti dia besar kepala,” katanya dalam hati. Namun, Selama dua menit menahan godaan untuk tidak menekan nomor Tantri, akhirnya menyerah karena perasaan purba terus mendorongnya untuk mendengar suara Tantri.
“Sial,” runtuk Nolan langsung mematikan telepon ketika sedetik tersambung. “Ayolah, Nolan, Tantri itu perempuan yang menyebalkan, nggak seharusnya kamu memikirkan dia. Baru dua jam yang lalu bertemu, jadi tahan diri, jangan terlalu menunjukkan sikap yang mencolok kalau kamu menyukai Tantri, bisa-bisa dia merasa istimewa.”
“Tapi dia memang istimewa,” ucap sisi lain Nolan.
Ponsel Nolan mendadak berdering, jantungnya bertalu-talu begitu melihat nama yang terpampang di layar. Selama beberapa saat ragu untuk mengangkat panggilan. Tangannya gemetar memegang ponsel. “Sial, kenapa aku jadi seperti remaja yang grogian, padahal usiaku sudah tiga puluh tahun?”
“Halo …” Nolan akhirnya mengangkat panggilan. “Ada apa, Chef?”
“Seharusnya aku yang tanya,” Nada suara Tantri terdengar ketus seperti biasa. “Bukannya kamu tadi yang missed calls duluan?”
“Iya kah?” Nolan pura-pura bodoh. “Oh, mungkin tadi nggak sengaja kepencet.”
Tantri menghela napas. “Oh, ya sudah, aku kira ada sesuatu yang penting.”
Nolan pura-pura tertawa.
Telepon langsung terputus.
“Nggak sopan sekali.” Nolan sebal begitu Tantri langsung mematikan telepon.
Terdengar pintu diketuk dari luar tak berapa lama kemudian, membuyarkan lamunan tentang Tantri. “Masuk!”
Sekertaris bernama Rosie masuk. Dari sikapnya saja Nolan sudah tahu kalau perempuan itu menyukainya.
“Ada apa?”
“Sore ini ada janji bertemu creative director dari kantor edvertiser, mungkin saja bapak lupa.”
“Terima kasih.” Nolan memberi isyarat agar sekertarisnya segera pergi. “Lima belas menit lagi saya akan menemuinya.”
“Perlu saya temani?” Rosie memasang wajah semanis mungkin.
“Tidak. Saya akan pergi sendiri,” tolak Nolan membuat Rosie kecewa.
***
Malam harinya, Nolan selalu terbayang-bayang Tantri. Seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta, kemana pun pergi, selalu hadir bayangan Tantri dengan sikapnya yang menjengkelkan.