Tantri merasa semakin lama mengenal Renata dan Nolan, membuatnya bimbang untuk melakukan misi balas dendam yang digagas Sonya. Apalagi melihat kehangatan sikap Renata terhadap dirinya membuatnya mengingatkan akan kehangatan Oma Ratna. Belum lagi setelah semakin jauh mengenal Nolan, rasanya gambaran lelaki berengsek sangat tidak cocok dengannya. Pemuda itu sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang ditemuinya sejauh ini.
Pukul delapan malam toko mulai sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang masih nongkrong. Beberapa kue juga sudah habis terjual. Atma sedang ngobrol dengan beberapa pelanggan yang ingin dilukis, bahkan banyak pelanggan yang memberikan bayaran untuk Atma dengan nominal yang lumayan besar.
Pintu diketuk dari luar saat Tantri selesai menelepon Regina yang mengabarkan perkembangan soal dekorasi pernikahan Renata.
“Masuk,” ucap Tantri mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Sinta masuk dengan tatapan murung. “Maaf mengganggu, Chef.”
“Ada apa, Sin?
“Boleh aku izin beberapa hari?” ucap Sinta duduk di hadapan Tantri. “Tadi adikku telepon katanya ibu sedang sakit dan aku ingin menjenguknya.”
“Ya, Tuhan,” Tantri merasa prihatin. “Nggak apa-apa, pulanglah, kesehatan ibumu lebih penting.”
“Tapi bagaimana dengan pekerjaan di sini?” Sinta terlihat tidak enak hati. “Bukannya kita sedang banyak sekali orderan?”
“Aku bisa menanganinya,” ujar Tantri meyakinkan. “Jadi nggak usah terlalu dipikirkan, masih ada Bening dan karyawan lain.”
“Aku benar-benar minta maaf, Chef.”
“Nggak perlu minta maaf, Sin. Kesehatan ibumu lebih penting. Lebih baik kamu cepat pulang, siapa tahu kepulanganmu bisa menjadi obat untuk ibumu.”
“Sekali lagi makasih, Chef.”
Tantri tersenyum. Dia mengambil ponsel lalu mengetikkan sesuatu. “Itu ada sedikit tambahan untuk biaya berobat ibumu. Semoga ibumu cepat sembuh.”
Sinta semakin merasa tidak enak hati saat mendapat bantuan biaya untuk perawatan ibunya. “Sekali lagi makasih, Chef.”
Selepas kepergian Sinta, Tantri memutuskan menemui Regina. Atma ikut karena dia menolak pulang ke rumah.
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Apartemen Regina. Tantri menekan bel, lalu beberapa detik kemudian Regina membuka pintu.
“Kamu bau vanila,” kekeh Regina saat Tantri duduk di sofa yang empuk.
“Hari yang memelahkan,” Tantri langsung meregangkan badan yang terasa pegal. “Hari ini pelanggan sangat banyak. Apa ada kopi? Aku butuh kafein.”
“Ada itu di dapur, buat saja sendiri,” ucap Regina.
Tantri langsung menuju mesin kopi dan menyeduhnya, tidak lupa menambah krim sebagai penyedap. “Atma mau kopi nggak?”