PEREMPUAN PALING BAHAGIA

Ragiel JP
Chapter #17

UNDANGAN MAKAN MALAM

Regina datang mengunjungi Tantri dengan wajah cemas keesokan paginya. Tantri tidak ingat berapa lama tertidur, karena saat bangun kamarnya masih dalam keadaan gelap gulita. Bahkan dirinya tidak tahu kapan Atma pulang. Dia hanya ingat saat kembali ke rumah dan menangis sejadi-jadinya hingga terlelap.

“Aku udah tahu semuanya,” ucap Regina memeluk Tantri yang penampilannya sangat berantakan. Bekas air mata terpampang jelas di wajah yang menghitam seperti mata panda. “Kemarin Valentine telepon dan menceritakan semuanya. Sebaiknya hari ini nggak usah ke toko dulu, Tri.”

Benak Tantri masih terasa nyeri mengingat kejadian kemarin. “Aku tetap mau ke toko, Na.”

“Kamu yakin?”

Tantri mengangguk. “Hanya dengan membuat kue bisa mengalihkan semua ini, Na. Aku nggak mau berdiam diri di kamar dan meratapi betapa bodohnya selama ini.”

Regina tersenyum. “Kamu perempuan tangguh dan pasti bisa melewati semua ini. Kamu nggak sendirian. Masih ada Atma, aku, dan teman-teman yang lain. Nggak ada gunanya meratapi semua ini.”

Tantri berusaha tersenyum. “Jam berapa sekarang?”

“Jam sepuluh pagi,” jawab Regina merapikan rambut Tantri. “Sebaiknya mandi dulu, Atma semalaman suntuk nggak bisa tidur karena cemas.”

Tantri tidak berpikir sejauh ini. Tentu saja Atma cemas dan takut terjadi sesuatu dengannya. Pengalaman ditinggalkan orang terdekat membuat Atma trauma. Betapa bodohnya dia meratapi semua ini, dan menyebabkan luka di benak Atma.

“Di mana Atma?”

“Tadi Nolan ngantar Atma.”

“Nolan datang ke sini?”

Regina mengangguk. “Atma meneleponnya karena khawatir kamu nggak keluar kamar sejak semalam.”

Perasaan tidak nyaman langsung menjalar ke tubuh. Dia tidak pernah menyangka Nolan datang saat sedang rapuh seperti ini.

“Sudah siap-siap dulu, nanti kuantar ke toko,” ucap Regina.

Tantri mengangguk.

*

Ponsel Tantri berdering saat selesai merapikan penampilan. Nama Sonya terpampang di layar.

“Ada apa, Nya?”

“Astaga, akhirnya diangkat juga. Kamu baik-baik saja, kan?” Suara Sonya terdengar khawatir.

“Aku baik-baik aja. Makasih, Nya, benar-benar kacau kemarin.”

“Syukurlah, aku cuma mau bilang begitu keluar dari resto, aku masuk lagi dan menumpahkan minuman ke wajah Julian.”

“Kamu apa?”

“Menumpahkan minuman ke wajah Julian,” Sonya terkikik di ujung telepon. “Harusnya kamu lihat gimana ekspresi Julian mendapat serangan itu, belum lagi cerewetnya pacar baru itu.”

“Lalu apa yang terjadi?”

“Julian hanya diam seperti balok kayu,” jawab Sonya semangat. “Habis itu aku nggak tahu apa yang selanjutnya terjadi karena langsung pergi setelah menamparnya.”

Hening.

“Kamu beneran nggak apa-apa, Tri?” ulang Sonya. “Apa perlu ke sana?”

“Ada Regina di sini, jadi kamu tenang saja.”

“Oh, syukurlah,” Sonya terdengar lega. “Sebaiknya cuti beberapa hari untuk menenangkan diri, Tri. Kutahu gimana perasaanmu sekarang setelah mengetahui berengseknya Julian.”

“Aku tetap mau ke toko, Sonya. Hanya itu caranya bisa mengalihkan kenangan tentang Julian.”

“Kalau ada apa-apa kabari saja.”

“Ya.”

Telepon terputus.

Tantri mematut wajah di cermin, berusaha menyamarkan mata yang sembab dengan sapuan make-up. Dia tidak ingin apa yang kemarin terjadi memengaruhi kualitas dalam bekerja.

Lihat selengkapnya