Tantri menceritakan semuanya kepada Sonya tentang kedatangan Julian ke rumah saat sahabatnya itu berkunjung sore harinya. Namun, dia tidak menceritakan perihal Nolan yang menjaganya semalaman suntuk di rumah sakit.
“Laki-laki berengsek seperti Julian pasti akan mendapat balasan,” wajah Sonya memerah. “Berani banget datang ke sini dan bilang masih mencintaimu. Kalau kemarin tahu dia datang, pasti sudah kugebukin sampai babak belur. Keputusanmu sudah benar, Tri. Nggak ada gunanya menjalin hubungan sama si berengsek itu.”
“Aku lagi nggak mau membahas dia, Sonya.” Dada Tantri masih terasa nyeri bila teringat kejadian semalam. “Kita bicara topik lain saja.”
Sonya mengangguk paham. “Bagaimana misi kita, apa semuanya berjalan lancar?”
Perasaan bersalah kembali jalin jemalin di dalam benak Tantri bila mengingat misi balas dendam. Dirinya mulai bimbang karena Nolan dan Regina tidak seperti yang dibayangkan.
“Sonya, apa nggak sebaiknya kita cari cara lain untuk membalas dendam sama Nolan?” usul Tantri membayangkan reaksi Renata dan Nolan bila tahu. “Kurasa ini bukanlah cara yang tepat.”
“Kenapa?” Sonya memandang Tantri dengan tajam. “Kamu sudah mulai menyukai Nolan?”
“Jangan tolol, aku nggak mungkin menyukai Nolan.”
“Lalu kenapa nyerah?”
“Setelah mengenal Renata lebih dalam, aku nggak tega menyabotase pernikahannya untuk tujuan lain.”
“Kebanyakan perempuan nggak punya gen balas dendam,” Sonya mendecakkan lidah. “Kamu udah janji, Tri. Ini satu-satunya kesempatan memberi Nolan pelajaran supaya nggak ada korban-korban lainnya.”
Tantri resah. “Tapi bagaimana dengan Renata? Pernikahan merupakan upacara sakral dan aku nggak mau membuat Renata kecewa.”
“Kita hanya fokus pembalasan pada Nolan, Tantri,” Sonya memegang kedua bahu Tantri. “Sama sekali nggak ada pengaruhnya dengan pernikahan Renata. Lagi pula ini malah bagus kalau Renata tahu adiknya berengsek.”
“Aku nggak mau menyabotase pernikahan Renata untuk kepentingan lain. Bisa buruk citraku kalau terjadi keributan. Banyak tamu penting yang hadir di penikahan itu.”
Sonya terdiam menyadari kesalahannya. “Maaf Tri. Aku nggak bermaksud membuat citramu jadi jelek. Janji pembalasan ini nggak akan menghancurkan reputasimu.”
Tantri memandang Sonya dengan tajam. “Jangan sampai melewati batas. Ini hanya pembalasan kecil yang nggak akan merusak pernikahan Renata.”
“Aku janji.” Sonya mengangkat sebelah tangan. “Begitu misi ini selesai, aku akan melupakan Nolan dan menjalani hidup normal seperti biasa.”
“Kupegang janjimu, Nya.”
“Bukankah satu setengah bulan lagi pernikahan Renata akan digelar?”
Tantri mengangguk. “Tempat dan waktu tertera di undangan yang kukasih kemarin.”
“Aku juga udah menemukan beberapa gadis lain yang menjadi korban Nolan,” kata Sonya semangat. “Biar tahu rasa dia, jangan karena kami perempuan jadi dianggap lemah.”
Mata Tantri membulat. “Bukannya hanya kamu yang akan datang ke pernikahan Renata?”
“Oh, tentu saja nggak sendirian. Nolan sangat lihai dalam memutarbalikan fakta, jadi semakin banyak saksi yang datang, semakin bagus.”
“Tapi itu nggak ada dalam rencana,” bantah Tantri. “Kita sudah sepakat hanya kamu yang datang.”
“Aku janji nggak akan membuat kerusuhan, ini hanya untuk jaga-jaga.”
“Tapi—“
“Janji.” Sonya kembali mengangkat tangan. “Nggak akan membuat kerusuhan.”
Suasana hati Tantri sedang tidak baik ketika Sonya pergi satu jam kemudian. Pengkhianatan Julian membuatnya kembali terpuruk. Rentetan kenangan bersama Julian kembali mengejek di dalam kepala. Bagaimana pun juga Julian adalah cinta pertama yang sangat sulit dilupakan.
Rencana-rencana indah yang dulu mereka rencanakan terasa bagai seribu jarum yang menusuk jantung. Tantri berpikir jika saja dulu tidak menunda-nunda ajakan Julian untuk segera menikah, mungkin semua ini tidak terjadi. Julian tidak akan kesepian dan mencari kehangatan dari perempuan lain.
Tantri membaringkan tubuh di atas sofa ruang tamu ketika kenangan lain terus melesat seperti laso. Luka yang dulu disebabkan sang ayah kembali berdenyut. Dirinya sadar selama apa pun waktu tidak pernah mampu menghilangkan perasaan sakit, waktu hanya bisa membuat dua hal terhadap luka batin―menumpulkan sisi tajam duka itu sendiri, sehingga hanya bisa memukul bukan mengiris, atau malah semakin menajamkan luka seiring banyaknya luka yang diterima, dan dua-duanya bukanlah pilihan menyenangkan.
Pintu kembali terbuka saat Tantri sedang menyeka air mata, lalu melihat Atma datang bersama Nolan. Atma yang melihat sang kakak sedang menangis langsung menghampirinya. Sedangkan Nolan yang memahami perasaan Tantri, langsung duduk di sebelahnya.
“Ka-kak kena-pa nangis?”