Tenda-tenda berwarna putih berdiri kokoh di hadapan Tantri. Meja-meja dilapisi kain damas berwarna emas, sedangkan kursi-kursi terbungkus kain satin berwarna senada dengan pita berwarna merah yang mengikat bagian belakang kursi. Bunga mawar putih menghiasi setiap sudut tenda dengan sulur-sulur romantis tanaman rambat berwarna hijau dengan bunga kecil-kecil melilit tiang tenda. Tiang-tiang di sepanjang altar itulah kejutan yang akan diberikan Tantri untuk Renata beserta semua tamu yang hadir.
Nuansa negeri dongeng begitu terasa. Dekorasi altar yang menyerupai kastil lengkap dengan kereta kuda buatan dan labu dari cerita Cinderella. Tujuh kurcaci kecil dari cerita Putri Salju juga tidak ketinggalan.
Ratusan lampion warna-warni menciptakan nuansa hangat dan memukau ketika dinyalakan. Ucapara pemberkatan akan dilaksanakan pukul empat sore. Tantri melirik jam di tangan kiri dengan gelisah, satu jam lagi acara itu akan dimulai.
Yang menjadi bintangnya tentu saja hidangan penutup. Berabagai jenis kue mulai dari muffin, cupcake, puding, macaron beraneka warna, tiramisu, pie, es cincau dan puluhan menu lain menghiasi setiap meja. Ada sebuah stan khusus yang menyajikan Chocolate Fontain—cokelat cair seperti air mancur, sehingga para tamu undangan bisa mencelupkan kue atau buah segar ke cokelat itu. Ilyas yang menjaga stan itu, karena biasanya banyak anak kecil yang penasaran dan akan membuat keributan kalau tidak ada yang menjaga stan itu.
“Kamu kelihatan tegang sekali,” Regina menyentuh lengan Tantri. “Rileks, Tri.”
“Apa menurutmu dekorasi ini nggak terlalu berlebihan?” Tantri menggigit bibir dengan cemas, takut semua tidak sesuai dengan yang diingkan Renata.
“Tentu saja nggak ada yang kurang. Ini sempurna.” Regina terlihat cantik dengan gaun malam berwarnma biru muda. Rambutnya dikepang sedemikian rupa dan dibentuk menjadi sanggul yang membuat wajah terlihat begitu tegas dan berwibawa. Regina memang tidak pernah gagal dalam berdandan. “Semua ini sempurna, bahkan Renata tadi memuji habis-habisan hasil kerja kita. Lihat sekeliling, para undangan terlihat sangat kagum dengan dekorasinya.”
Tantri mengalihkan pandangan ke para tamu undangan. Mereka tak henti-hentinya mengambil gambar dan video untuk diunggah di media sosial. Beberapa tamu mengatakan sangat suka dengan hiasan bunga-bunga dan kesan damai yang diciptakan dari lampion-lampion yang digantung menyerupai kunang-kunang.
“Kamu benar, semua undangan sepertinya menyukai dekorasinya.”
“Sudah pasti,” Regina merangkul bahu Tantri. “Makasih, ya, kujamin begitu acara ini selesai, kita bakal kebanjiran orderan. Lihat, banyak tamu penting yang hadir. Ada pejabat juga dan beberapa tokoh penting kenalan Nolan.”
Tantri setuju. Dia bisa melihat dari penampilannya para tamu yang terlihat berkelas dan berkilau dengan gaun dan jas mahal yang dikenakan. Nolan membuktikan pengaruhnya dalam mengundang relasi bisnis yang akan membuat citra Tantri semakin naik.
“Itu Glen,” Regina melambaikan tangan ke seorang lelaki yang memakai jas berwarna biru dongker. “Mereka baru sampai.”
Glen adalah suaminya Regina. Dia seorang pengusaha sukses berwajah tampan dengan hidung mancung sempurna dan tinggi menjulang bak raksasa.
“Halo, Chef,” sapa Glen menyalami Tantri. “Lama nggak ketemu, kamu makin cantik saja.”
“Sudah seharusnya dong,” jawab Tantri tersenyum. “Carissa nggak ikut?”
“Itu dia,” tunjuk Regina melambaikan tangan ke arah seorang gadis mungil berwajah bulat. Carissa sangat mirip dengan Glen, hanya matanya yang identik dengan mata Regina. “Aduh, lihat, nih, tangannya jadi kotor karena es krim.”
Tantri jongkok di hadapan Carissa dan mengecup kepala bocah berusia enam tahun itu. “Lama nggak ketemu, Mbak Tantri kangen tahu.”
“Risa juga kangen sama Mbak Tantri,” ucap Carissa lancar. “Kangen makan kue sama es krimnya.”
Tantri tersenyum senang. Melihat keharmonisan keluarga Regina membuatnya sedikit iri yang entah kenapa kembali mengingatkan pada Julian saat secara mendadak ada aroma parfum yang biasa dipakai Julian terhindu hidungnya. Tantri sebal sekali kenapa aroma selalu saja memunculkan kenangan masa lalu.
Regina kemudian meninggalkan Tantri sendirian saat melihat salah satu kenalannya hadir di pesta.
“Kue itu indah sekali,” puji seorang perempuan berambut lurus menunjuk kue pengantin tingkat tujuh dengan hiasan gula berbentuk mawar. “Aku juga ingin konsep pernikahan seperti ini.”
“Aku juga nanti kalau nikah mau dibuatin kue seperti itu,” dukung perempuan kedua yang memakai gaun berwarna merah muda. “Tadi sudah nyobain kuenya enak banget. Kira-kira mereka memesan kuenya di mana, ya?”
Tantri merasa senang mendengar ucapan tamu itu. Tampaknya semua kerja keras timnya memuaskan. Tantri kembali menyapukan pandangan ke segala penjuru, memastikan sekali lagi tidak ada yang cacat. Semuanya sempurna, bunga-bunga tulip dan lili menjuntai dari vas-vas kristal, sebuah pahatatan es bergambar sepasang pengatin juga terlihat menakjubkan. Beruntung suhu di Kaliurang dingin, sehingga pahatan es tidak mudah mencair.
Di sebelah pahatan es bergambar sepasang pengantin itu ada stan es krim yang sudah dikerumuni anak kecil. Bening yang menjaga stan es krim terlihat kewalahan melayani anak kecil yang terus meminta es krim. Ketika Tantri hendak membantunya, tiba-tiba Herman datang membantu Bening. Melihat kedekatan kedua karyawannya, Tantri yakin kalau Herman sebenarnya menyukai Bening.
“Apa kamu selalu tegang seperti itu?” celetuk sebuah suara di belakang Tantri. “Kuperhatikan dari tadi kamu kayak cacing kepanasan.”
Tantri berputar dan mendapati Nolan sangat memesona dengan jas hitam yang dikenakan. Rambut Nolan ditata rapi yang mengingatkan pada tokoh dalam film drama romantis.
“Nolan?”
“Yeah, ini aku.” Nolan terkekeh. “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa kamu selalu tegang begitu?”
“Tentu saja aku tegang,” ucap Tantri mengakui. “Ini seperti pertaruhan hidup dan mati. Mengingat Renata mengundang beberapa pejabat penting dan aktris, bagaimana kalau mereka kecewa?”
Nolan tertawa sembari mengambil segelas minuman di atas nampan yang dibawakan pelayan. “Bukannya sudah ratusan kali mengalami situasi seperti ini? Jadi aku terkejut kamu masih tegang, Ruben bilang kamu profesional.”
“Ini hal yang wajar dirasakan semua orang, Nolan. Kamu nggak akan pernah bisa merasakannya.”
“Aku bisa merasakannya kok. Ini seperti presentasi di hadapan investor. Rasanya sangat tegang, sampai mau pingsan. Pasti itu yang kamu rasakan.”