Potongan-potongan kenangan saat Nolan menatapnya dengan tatapan marah terus berputar di kepala Tantri. Menyebabkan luka menganga yang selama ini berusaha disembuhkan kembali terbuka lebar. Dia tahu dirinya salah karena membuat Nolan merasa dibohongi, tapi dirinya sama sekali tidak mempunyai keberanian menemui Nolan.
Sudah lewat empat hari sejak pernikahan Renata yang menjadi topik hangat di media sosial. Bahkan ada beberapa berita online dan majalah gosip yang memberitakan betapa berkesannya pesta itu yang berimbas baik pada All About Regina dan Kalyana Bakery kebanjiran orderan.
Namun, segala pujian yang Tantri dapatkan tidak mampu mengubah hatinya yang kosong setelah kejadian itu. Tantri memutuskan cuti beberapa hari untuk istirahat. Sedangkan Atma, dia menitipkan adiknya pada Regina.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Tri?” tanya Bening di telepon. “Sejak pernikahan Renata sikapmu jadi berubah.”
“Nggak ada apa-apa. Aku beneran lagi pengen istirahat saja. Tolong jaga Atma, bilang kalau aku baik-baik saja dan nggak perlu cemas.”
“Apa terjadi sesuatu sama kamu dan Nolan?”
Benak Tantri kembali berdenyut mendengar nama Nolan disebut. “Nggak ada apa-apa, aku lagi pengen sendirian saja.”
“Baiklah.” Bening memahami terkadang seorang perempuan ingin sendirian. “Tetap jaga kesehatan dan hubungi kami kalau butuh sesuatu.”
“Terima kasih, Ning. Tolong jaga Atma.”
“Aman.”
Tantri belum berani menghubungi Nolan untuk sekadar minta maaf. Dia selalu gelisah setiap kali hendak menemui Nolan. Rentetan kenangan bersama Nolan kembali berputar di dalam kepala seperti kaset film. Bagaimana pertemuan pertama mereka yang menyebalkan, makan bersama di rumah Nolan yang berakhir memalukan. Lelucon Nolan yang mengatakan dia istrinya ketika dia pingsan.
Mata Tantri berkaca-kaca ketika mengingat semua yang pernah dilakukan bersama Nolan dan Renata. Mengingat nama Renata, benak Tantri kembali terasa nyeri. Tawa Renata yang renyah kembali bergaung di telinga. Apakah Renata sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi? Apakan Nolan mengatakan segala omong-kosong tentang balas dendam. Tantri tidak bisa membayangkan bagaimana jika Renata membenci dirinya.
“Sudah bangun, Nak?” sebuah suara lembut menyapanya. “Ibu sudah masak makanan kesukaanmu, pepes ikan mas dan cah kangkung.”
“Sebentar lagi aku turun, Bu,” jawab Tantri hambar.
Tantri kembali menyeka air mata. Dia menuju wastafel untuk membasuh wajah. Kalau Oma Ratna masih hidup, dia akan mencurahkan semua kesedihan dan mendengarkan petuah-petuah yang selalu berhasil membuat hati tenang.
Tantri memutuskan menemui ibunya di Solo untuk menenangkan diri. Dia tidak tahu harus pergi ke mana untuk menghindar sesaat dari keruwetan hidup.
“Apa ada masalah, Nak?” tanya Bu Irma ketika Tantri sampai di meja makan. “Ibu perhatikan wajahmu selalu murung sejak kemarin. Ceritakan pada ibu kalau ada masalah.”
“Aku nggak apa-apa, Bu,” dusta Tantri. “Semuanya baik-baik saja.”
Bu Irma hanya menatap sang anak dengan tatapan penasaran. Intuisinya mengatakan terjadi sesuatu yang buruk dengannya. Tapi Bu Irma tidak tahu harus mengatakan apa sebagai pelipur. Bu Irma menyadari betul itu, sejak meninggalnya sang suami pertama, hubungan mereka sudah renggang dan semua itu karena kesalahannya.
“Tantri,” Bu Irma mengelus bahu anaknya. “Kalau terjadi sesuatu, kamu bisa cerita sama ibu.”
Tantri hanya menatap makanan di atas meja makan dengan tatapan kosong. Nafsu makanya sudah benar-benar hilang. Bayang-bayang rasa bersalah terhadap Nolan terus menghantuinya seperti sebuah teror―menyedot semua kebahagiaan di dalam jiwa yang membuat matanya terasa panas dan tanpa sadar menangis lagi.
Melihat anaknya menangis membuat Bu Irma mengusap bahu anak dengan lembut. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa menangis?”