Keesokan harinya Tantri sudah kembali ke bakery. Dia menyapa semua karyawan yang wajahnya berbinar melihat kedatangan Tantri.
“Bagaimana liburannya, Chef?” tanya Bening yang tengah membuat adonan fla untuk isian kue sus.
“Menyenangkan,” Tantri merapikan apron yang dipakai. “Aku belum mengucapkan terima kasih untuk kerja kalian di pernikahan Renata. Syukurlah pesta itu sukses, semua tamu undangan menyukai hidangan kita.”
“Kami senang mendengarnya, Chef,” timpal Bening. “Makasih juga untuk bonusnya.”
“Itu sudah menjadi hak kalian,” Tantri mengambil cokelat batang dan mulai melelehkannya. “Aku yang seharusnya berterima kasih.”
“Pelanggan kita jadi semakin banyak, Chef,” ujar Sinta wajahnya berseri-seri. “Tampaknya pernikahan Renata berdampak sangat besar bagi toko ini. Lihat, nih, di media sosial masih trending pernikahan Renata. Netizen jadi penasaran ingin mencicipi kue-kue di pesta itu.”
Tantri kembali teringat Nolan dan belum mempunyai keberanian untuk meminta maaf.
“Lihat komenan netizen malah mereka gagal fokus sama Nolan,” imbuh Winda. “Mereka terpesona sama kegantengan Nolan. Ya, nggak salah, sih, Nolan emang ganteng banget. Sayang dia nggak main media sosial, jadi nggak bisa kepo.”
“Nolan dari dulu nggak punya media sosial,” ujar Bening. “Tapi aku seneng bisa ketemua Ian lagi di sana. Gila, dia makin berkharisma dengan rambut panjangnya.”
“Terus kamu mau balikan gitu sama dia?” celetuk Herman.
“Ya nggak mungkinlah,” jawab Bening cepat. “Udah nggak ada perasaan apa-apa sama dia.”
“Cie, ada yang cemburu,” ledek Ilyas. “Sudah, Man, kalian jadin saja.”
“Iya, aku juga setuju,” dukung pramusaji pertama.
“Iya aku juga.” Pramusaji kedua ikut menimpali.
Herman bergegas pergi karena malu.
Menjelang siang, toko sangat ramai pelanggan yang terus berdatangan tanpa henti dan membuat mereka semua kewalahan karena pelanggan yang semakin membludak. Bahkan sampai ada waiting list karena meja dan kursinya telah penuh.
Menjelang sore, pelanggan sudah mulai sepi. Lonceng di atas pintu kembali berdencing ketika Regina masuk dan tersenyum ke arah Tantri. Regina langsung duduk di meja paling ujung dan memesan tiramisu seperti biasanya.
“Aku senang akhirnya kamu kembali, Tri.”
“Aku beneran minta maaf, Na,” ucap Tantri menundukkan wajah. “Karena telah menyabotase pernikahan Renata.”
Regina menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Dia menyeruput latte dingin, lalu menyendok tiramisu dan memakannya. “Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”
Tantri kemudian menceritakan semuanya. Dimulai dari Sonya yang meminta bantuan untuk membalaskan rasa sakit hati terhadap Nolan, hingga ide untuk mempermalukan Nolan gagal total karena Nolan lebih dulu memergokinya.
“Tantri, sekarang aku tanya, apa menurutmu Nolan itu terlihat seperti lelaki berengsek?” Regina memandang Tantri dengan tajam.
Tantri menggeleng. “Dia sama sekali nggak terlihat seperti itu. Walau menyebalkan, tapi dia sama sekali nggak terlihat seperti playboy.”
“Nah, seharusnya kroscek dulu apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar Nolan seperti yang Sonya ceritakan.”
“Tapi Sonya nggak mungkin bohongin aku, Na,” kilah Tantri lagi. “Selama mengenal Sonya, belum pernah dia serapuh ini karena cowok.”
“Tapi kita nggak boleh mendengar cerita hanya dari satu sisi saja. Aku tahu banyak tentang Nolan dari Ruben, dia bilang Nolan bukan tipikal lelaki yang mudah jatuh cinta. Asal kamu tahu, Nolan mempunyai trauma yang besar terhadap perempuan. Selama ini Nolan mencoba menutup hati untuk perempuan. Namun, begitu ketemu kamu, Nolan mulai sedikit membuka hati.”
Jantung Tantri bagai dibetot paksa mendengar penjelasan Regina. “Apa maksudnya?”
Regina kembali menyeruput latte sebelum melanjutkan cerita. “Nolan pernah hampir menikah, tapi tunangannya meninggal dua hari sebelum pernikahan mereka.”