“Kania?” Tantri menatap Nolan prihatin. “Tunanganmu?”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Ruben memberitahuku saat datang ke rumah.”
Mereka duduk di sofa dengan sepiring marshmallow dan secangkir kopi sebagai teman ngobrol. Sementara hujan turun semakin deras.
“Nolan, aku benar-benar minta maaf,” ucap Tantri menundukkan wajah. “Aku beneran nggak bermaksud membohongimu.”
“Aku tahu,” Nolan tersenyum. “Regina dan Ruben mengatakan alasan kenapa kamu melakukan itu.”
Rasa lega luar biasa menyelimuti benak Tantri. “Jadi kamu udah nggak marah lagi?”
Nolan menggeleng. “Bagaimana bisa marah kalau Atma yang minta maaf secara langsung.”
“Sori?”
“Kemarin sore kami bertemu adikmu dan Atma mengucapkan permintaan maaf. Atma itu hatinya peka, Chef. Dia tahu semuanya.”
Perasan haru menyusup dalam hati Tantri. Kemarin sore Dokter Thomas meminta izin membawa Atma ke luar untuk merayakan ulang tahun pasiennya, tapi Tantri sama sekali tidak menduga ada Nolan di sana.
Tantri teringat sesuatu, lalu mengaduk-aduk isi tas dan mengambil dompet. “Ini, terjatuh kemarin.”
“Oh, kukira foto ini hilang,” Mata Nolan langsung berbinar. “Aku sudah mencari ke mana-mana.”
Petir menggelegar yang disusul angin yang menghantam jendela rumah, membuat udara semakin dingin.
“Nolan, boleh aku tahu tentang Kania?” pinta Tantri hati-hati.
Wajah Nolan langsung berubah mendung, tampak jelas menyiratkan sesuatu yang menyakitkan. Tapi Tantri harus tahu kebenaran, kalau memang Nolan seberengsek yang Sonya tuduhkan, tentunya tidak akan menyimpan foto tunangan yang telah meninggal, kan?
Nolan menyesap kopi sesaat. “Dia tuanganku. Kami dulu teman kuliah, singkat cerita setelah beberapa tahun pacaran—“ Nolan berhenti sesaat. “Namun, dua hari sebelum pernikahan berlangsung, kami mengalami kecelakaan karena mobil yang kukendarai kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan, lalu Kania—“ Nolan menundukkan wajah dengan tangan gemetar hebat memegang cangkir kopi.
Tantri langsung menyentuh tangan Nolan dan menggenggam dengan erat. Tanpa sadar mata terasa panas menahan air mata. Dia tahu bagaimana perasaan Nolan sekarang karena perasaan bersalah akan kematian tunangannya.
“Nolan,” Tantri mengelus lengan Nolan berusaha menangkan. “Aku turut berduka cita atas apa yang menimpa Kania.”
“Ini semua salahku,” Punggung Nolan berguncang menahan tangis. “Kalau aku nggak memaksa menonton pameran, pasti semua ini nggak akan terjadi. Kania pasti sekarang masih hidup.”
“Ini semua bukan salahmu.” Secara naluriah Tantri menggenggam lengan Nolan. “Aku yakin semua ini sudah takdir Tuhan, kamu nggak berhak menyalahkan diri sendiri.”