Tepat pukul sembilan pagi, Nolan datang menjemput Tantri dan Atma. Belum pernah Tantri melihat Atma sedekat ini ini dengan orang asing. Mereka seperti kakak adik, dan entah kenapa itu membuat Tantri senang. Nolan sudah mendapatkan kepercayaan penuh dari adiknya yang protektif.
Mobil kembali melaju saat Tantri dan Atma masuk.
“Oh, ya, tadi Renata telepon katanya hari ini sampai Jogja.”
“Benarkah?” wajah Tantri riang. “Nggak sabar ketemu dia.”
“Aku ju-ga,” dukung Atma di kursi belakang.
Nolan tersenyum. “Nanti sore kalau ada waktu, maukah kamu datang ke rumah, Chef? Aku mau ngasih kejutan untuk Renata.”
“Aku mau,” Tantri mengangguk semangat. “Jam berapa Renata sampai?”
“Mungkin jam tujuh malam.”
“Oke.”
“Atma juga ikut. Aku mau masak sesuatu yang spesial untuknya.”
Atma mengacungkan jempol sebagai jawaban.
“Aku senang sekarang kita sudah berteman. Selama ini kesepian karena nggak punya banyak teman.”
“Masa?” Tantri teringat ucapan Renata. “Bukannya kamu tipikal laki-laki yang mudah bergaul?”
Nolan menggeleng. “Setelah meninggalnya ibu, aku menganggap semua orang di sekitar adalah monster, dan itulah penyebab kenapa aku nggak mudah bergaul.”
Tantri hanya terdiam.
“Banyak orang bilang aku mirip ibu,” ucap Nolan lagi. “Bahkan beliau mewariskan mata kelabunya kepadaku dan Renata.”
“Pasti ibumu sangat cantik,” puji Tantri.
“Dia memang sangat cantik,” ucap Nolan dengan nada penuh kerinduan. “Ibu adalah orang pertama yang paling kucintai setelah Renata dan Kania. Aku biasanya nggak menceritakan keluarga dan masa lalu sama orang lain. Tapi aku memercayaimu, nggak ada salahnya menceritakan semua ini. Kamu berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah kutemui.”
“Apa itu pujian?” Tantri terkekeh. “Tapi banyak yang bilang aku ini pemarah dan perempuan kejam.”