Nolan dan Atma datang tepat pukul setengah lima sore. Wajah Nolan selalu berseri-seri setiap kali berrtemu Tantri. Dia tidak bisa memungkiri kalau perempuan di hadapannya kini tengah mengisi sebagian besar sudut hati. Rasanya sudah sangat lama tidak mengalami perasaan berdebar setiap berdekatan dengan lawan jenis. Perasaan yang dikiranya tidak pernah muncul lagi setelah kematian Kania
“Sudah siap?” tanya Nolan saat melihat Tantri masih berkutat di dapur. “Ayo, keburu kesorean.”
“Tunggu aku ganti baju dulu,” wajah Tantri memerah karena malu. “Lima menit lagi siap.”
“Mau kencan?” Bening tidak tahan untuk bertanya. “Kalian sudah jadian?”
Nolan menggeleng. “Kami mau masak-masak menyambut kepulangan Renata. Aku pinjam Tanti sebentar, Bening.”
“Lama pun nggak apa-apa.”
“Awas, ya, kalau aku pergi dan kalian males-malesan,” canda Tantri yang telah berganti pakaian. “Aku pergi dulu.”
“Sukses buat kencannya, Chef,” ledek Sinta.
“Pepet terus sampai jadian, Nolan,” dukung Bening yang disambut tawa karyawan lain.
“Kami siap jadi tim hore,” Winda tidak mau kalah.
“Biar cepat makan daging kita,” imbuh Herman.
Tantri hanya memutar bola mata melihat ledekan karyawannya.
“Kita belanja dulu,” kata Nolan begitu mereka masuk mobil. “Renata suka sekali makanan Italia.”
“Aku ju-ga su-ka,” sambung Atma di kursi belakang. “”Aku su-ka pas-ta yang dicam-pur as-para-gus, zucchini, dan ke-ju.”
“Wah, kamu suka menu vegetarian, ya?”
“Atma apa saja suka, tapi dia memang sangat suka pasta.”
“Oke, nanti aku masakin pasta yang sangat enak buatmu.”
Atma bertepuk tangan senang.
Mobil menuju ke sebuah swalayan. Bagi Nolan berbelanja bersama Tantri mengingatkan kenangan kepada Kania. Tiga puluh menit kemudian, setelah mendapatkan semua bahan yang dibutuhkan, mereka kembali ke rumah Nolan.
“Mau masak apa, Nolan?” tanya Tantri ketika mobil berbelok ke sebuah tikungan. “Bahan-bahannya banyak amat, aku bahkan nggak tahu nama-namanya.”
“Coba tebak,” Nolan tersenyum.
“Erm… spageti mungkin.”
“Salah.”
“Pizza?”
“Kurang tepat.”
“Lazagna?”
“Masih salah.”
“Aku nyerah, deh.”