Enam bulan kemudian…
Tantri gelisah mengingat sejam lagi upacara pernikahan akan digelar. Dada berdebar tidak karuan membayangkan berdiri di atas altar untuk mengikrarkan janji suci bersama Nolan.
“Rileks, Sayang,” Bu Irma mengelus bahu Tantri dengan lembut. “Semua pasti baik-baik saja. Demi Tuhan kamu tampak cantik sekali.”
Mata Tantri berkaca-kaca saat ibunya kembali mengelus lengannya. Hubungan mereka sudah membaik. Tantri bahkan sudah mau menerima keberadaan ayah tirinya. Selama ini dia salah karena tidak pernah memberi kesempatan kepada ayah tirinya untuk membuktikan bahwa dia sangat mencintai ibunya.
“Aku deg-degan, Bu,” Tantri kembali menyentuh dada yang seolah-olah merasakan jantung hendak keluar. “Bagaimana nanti kalau aku jatuh di atas altar?”
“Semua pasti akan baik-baik saja, Sayang. Jangan pikirkan yang macam-macam. Ini hari bahagiamu dan buang semua kesedihan. Ibu sangat bahagia karena akhirnya melihatmu menikah dengan seseorang yang mencintaimu dengan tulus. Nggak sabar rasanya ibu pengen gendong cucu.”
Tantri tersenyum haru. Rasanya udara hari ini terasa lebih wangi dari hari-hari biasanya. Pintu kembali terbuka. Regina dan Lyra masuk, lalu memeluk Tantri dengan sangat erat.
“Selamat untuk pernikahanmu, Tri,” ucap Regina berusaha menahan air mata supaya tidak jatuh. “Biasanya kita mendekorasi pernikahan orang lain, kini giliran aku yang ngedekor pernikahanmu.”
“Nggak usah tegang,” pesan Lyra mengelus lengan Tantri. “Santai saja.”
Seorang penata gaya masuk ke ruangan make up untuk mempersiapkan Tantri. Alunan lagu di luar membuat jantung Tantri berdebar semakin kencang. Regina dan Lyra kembali keluar untuk membiarkan penata gaya mendadandani Tantri. Begitu juga ibunya, perempuan berwajah ramah itu sekali lagi menyeka mata saat meninggalkan Tantri.
Alunan lagu yang menandakan waktu pemberkatan pernikahan Nolan dan Tantri kembali mengalun lembut. Mata Tantri terasa panas karena perasaan haru saat melihat Atma yang terlihat sangat tampan dalam balutan jas berwarna hitam.