PEREMPUAN PATAH HATI

Machashw
Chapter #1

ALEA

Musim semi telah berlalu

Dedaunan berguguran layu

Diterbangkan angin sembilu

Menjelma serpihan debu

Machashw


"Aku mau kita putus."

"Apa?"

Kuberanikan diri menatap langsung mata sepekat kopi hitam yang selalu kukagumi itu—yang sedang menyorotiku dengan tatapan tajam. Kalau boleh jujur, aku merasa gentar sekarang. Mata yang selalu menyimpan kehangatan di balik permukaan yang dingin dan beku itu, tidak pernah menghakimiku dengan sorot marah juga terluka di saat yang bersamaan.

"Kau bilang apa tadi?" Nadanya terdengar mengancam.

Kutahan ledakan emosi yang menggelenyar di dalam dada, dan meskipun mata terasa perih seperti ditusuk-tusuk, kupertahankan tatapan angkuh seolah dia adalah sumber dari kebencian yang timbul di permukaan wajahku. Tidak mudah memang, tetapi hanya ini yang bisa kulakukan sebagai bentuk pertahanan diri.

"Apa kau tuli? Aku sudah mengatakannya dengan sangat jelas."

Bisa kulihat dia menggeleng lemah seolah tak memercayai apa pun yang kukatakan. Air mukanya berubah sendu, sedetik kemudian berkilat marah. Entah bagaimana, aku memahami kesedihan dan kemarahan itu. Aku harus diberi kutukan tak termaafkan karena telah menyia-nyiakan laki-laki sebaik dia—Dirga.

Seandainya saja ada pilihan ganda, maka akan kugadaikan apa pun, bahkan jika harus mengadaikan harga diri demi menukarnya dengan ketulusan seorang Dirga, tetapi sayangnya aku tidak memiliki itu, dan aku tidak memiliki keberanian untuk mengakuinya. Biar kepahitan kutelan seorang diri.

"Kau mengajakku bertemu tengah malam begini hanya untuk mengakhiri hubungan. Apa kau masih memiliki kesadaranmu?"

Aku mengangguk cepat, pandanganku semakin mengabur. Kumohon, sedikit lagi. Bertahanlah. Aku tidak boleh menangis—tidak di depan Dirga, jika itu kulakukan, maka sia-sia saja semua pertahanan diri yang kutunjukkan sebelumnya.

"Aku sangat sadar, dan jika kau tanya alasannya, aku tidak akan mengatakan apa pun. Aku hanya ingin mengakhiri hubungan ini begitu saja," ucapku datar tanpa ekspresi.

Dirga mencengkeram kedua sisi tubuhku—tepat di bahu. Menarikku lebih dekat, menyelisik setiap inci wajah, berharap bisa menemukan sesuatu di sana, tetapi tekadku sudah bulat, aku tidak akan luluh. "Kemarin kita masih baik-baik saja. Apa sudah terjadi sesuatu, Lea?" tanyanya kemudian setengah membujuk.

Aku bergeming di posisiku.

"Kau pikir aku orang yang seperti apa? Aku tidak akan menerima keputusan sepihakmu, apalagi dengan alasan yang tidak jelas," imbuhnya kembali bersikukuh, ada getaran kekecewaan dalam suaranya, dan aku benci mengetahui bahwa dia mungkin terluka.

Ketegangan merebak di antara kami—aku dan Dirga. Aku benar-benar tidak ingin memedulikan apa pun yang dia katakan. Aku mengajaknya bertemu dengan satu tujuan, mengakhiri hubungan lalu pergi membawa separuh hati yang sudah berantakan. Tidak ada niat untuk berkompromi atau sekadar menjawab pertanyaan yang dia lontarkan. Itu tidak akan mengubah keputusanku.

Alih-alih kecewa, akan lebih baik jika Dirga marah dan langsung menerima keputusanku, tetapi meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri kalau aku menikmati kebersamaan kami, yang mungkin akan menjadi kerbersamaan terakhir kalinya. Seandainya saja aku memiliki kekuatan super untuk menghentikan putaran waktu, maka akan kuhentikan agar aku bisa menatap Dirga sedikit lebih lama—laki-laki yang masih menempati posisi tertinggi di hatiku.

Sedetik kemudian realitas menamparku dengan keras, kupaksakan diri melepas cengkeraman tangan Dirga di bahu. "Tidak semua keputusan memiliki alasan," jelasku. Lagi-lagi tanpa ekspresi.

"Tetapi, di balik kalimat aku tidak akan mengatakan apa pun pasti ada alasannya, Lea." Kurasa ini akan menjadi perdebatan alot jika tidak segera dihentikan.

"Kau tidak akan mengerti, Dirga!"

Lihat selengkapnya